Rabu, 19 Maret 2014

Review The Dream In Taipei City by Sarah Amijaya

Oleh Sarah Amijaya - Goodread post



Indonesia, sebuah negeri yang terkenal dengan budaya ketimurannya. Betapa penduduknya ramah tamah, saling bergotong royong dengan rasa kekeluargaan yang begitu kental.

Indonesia, sebuah negeri dengan multikultural, namun memiliki rasa persatuan yang kuat.

Namun, tatkala kemerdekaan berpuluh tahun berlalu, semua budaya ketimuran dan rasa persatuan bangsa berlahan mulai tergerus.

The Dream In Taipei City dengan sangat apik menghadirkan kembali rasa kebangsaan yang kuat dan kekeluargaan yang kental pemuda pemudi Indonesia melalui jalinan kisah persahabatan Ella Tan, dan mahasiswa-mahasiwa Indonesia lainnya tatkala bersama-sama menimba ilmu di belantara kampus asing di negeri serumpun China, Taiwan.

Pada Ella Tan, kisah ini berpusat. Pada awalnya ia berada di Taiwan demi kesepakatan orang tuanya yang telah bercerai. Dengan ayah yang sangat pendiam, serta ibu dan saudara tiri yang kejam, Ella benar-benar merasa sendirian di Negara asing tersebut. Namun, semua berubah ketika ia bertemu dengan Adrian, seniornya dikampus yang ternyata juga saudara sebangsa dengannya. Adrianlah yang akhirnya memperkenalkannya dengan sekumpulan mahasiswa Indonesia lainnya yang dengan cepat tidak hanya menjadi sahabat dekatnya tapi mereka semua selayaknya saudara, tak peduli dengan beragam perbedaan suku, ataupun keyakinan yang mereka anut. Kebangsaan yang sama telah menyatukan mereka begitu saja, tanpa syarat lainnya.

“Santai….kita, kan sesama orang Indonesia” (hal 17)

Setelah beberapa jam mengobrol dengan teman-teman Adrian yang saat itu sudah menjadi teman Ella juga, Ella merasa mereka sangat ramah dan memanusiakannya… (hal 51)

Pada Ella Tan, tergambar pula sosok wanita muslimah yang polos, namun tetap memegang teguh nilai-nilai yang diyakininya. Dengan segala kepolosan dan keyakinannya yang tak biasa di tengah belantara budaya asing Ella Tan tetap membaur dan tidak “mengeksklusifkan” dirinya. Selain dekat dengan kawan-kawan Indonesianya, ia bergaul aktif dengan rekan-rekan sesama muslimah dari berbagai Negara. Bahkan, ia juga berkawan dekat dengan Kim Hae Yo, seorang pemuda energik berkebangsaan korea. Sekaligus dekat dengan seorang dosen muda yang sebenarnya juga sangat dikaguminya, Marcel Yo.

…dia merasa tidak pernah bertemu dengan mahasiswi muslim yang bergaul dengan semua orang. Tapi, sejak kedatangan Ella yang pertama kali, gadis itu terlihat tidak segan untuk berbicara dan bersosialisasi…(hal 181)

Kisah ini tidak bergerak jauh-jauh. Hampir ¾ isi buku ini berkutat seputar Ella dan kampus barunya. Maka settingnya pun tak jauh-jauh dari seputaran universitas NTU dan aktivitas di dalamnya. Pun demikian, tak sedetikpun pembaca akan merasa bosan, sebaliknya pembaca seolah terseret dengan semangat dan kecerian Ella dan kawan-kawannya dalam meraih impian.

Mereka, para penuntut ilmu yang benar-benar berjuang untuk masa depan mereka. Karena kesempatan kuliah itu bukanlah didukung dengan kondisi finansial yang mapan melainkan melalui jalur beasiswa, hingga mereka pun rela bekerja part time di sela-sela kesibukan kuliah. Sungguh kontras dengan realitas nyata dimana pemuda pemudi yang beruntung dengan dukungan finansial full dari orang tua mereka justru terkadang lalai dan hanya menghambur-hamburkan uang.

“…kalau kamu ke sini atas dasar terpaksa, lebih baik kamu pulang. NTU akan mengeluarkan mahasiswa yang IP-nya kurang dari2,5. Kau jangan membuang uang jika tidak mau menyakiti hati kami semua.”

“…Kuliah ini merupakan salah satu upaya mencapai cita-citaku. Bisa mendapatkan beasiswa untuk belajar di luar negeri merupakan suatu anugerah terbesar buatku. Maka, aku berjanji harus berhasil lulus ujian masuk dan melanjutkan kuliahku dengan serius,” (hal 54-55)

Ditengah keceriaan kehidupan kampus, kisah ini diselipi pula hubungan Ella dan ayah kandung yang baru saja dikenalnya. Ella yang pada awalnya merasa ditinggalkan dan tak berarti, akhirnya merasakan kasih sayang ayah yang sebenarnya tetap mencintainya. Bagaimanapun dinginnya sikap seorang ayah, di hatinya ia tetap mencintai darah dagingnya dengan caranya sendiri.

Air ata Ella justru pecah begitu tiba dan melihat apartemennya yang sudah rapi dan sangat lengkap dengan perabot. Padahal, dalam pikirannya masih ribet memikirkan bagaimana agar dia mempunyai peralatan masak sendiri dan peralatan makan.

Saat itu, Ella sadar betapa papanya sangat peduli dan mengerti akan kebutuhannya tanpa ia minta. (hal 163)

Jika novel ini terasa kurang, mungkin bagian inilah yang masih mengganjal. Tak ada kejelasan dan porsi yang cukup untuk menjawab penasaran pembaca tentang kelanjutan perasaan sebenarnya Papa Ella terhadap ibu kandung Ella.

Jalinan persahabatan Ella dan Kim Hae Yo juga menyisakan kesan tersendiri. Mereka yang berikrar selamanya menjadi sahabat baik. Saling mendukung, saling menyemangati, dan saling menjaga. Ella yang mengagumi dosen Yo, dan Hae Yo yang mengagumi Miss wang, kekasih Dosen Yo. 


Persahabatan mereka yang manis harus terpisah tiba-tiba saat Hae Yo terpaksa pulang ke Korea karena urusan keluarga yang mendesak. Rentang perpisahan itulah yang mengajari mereka arti satu sama lain. Disini pula termaktub dengan jelas bahwa contoh teladan itu justru berhikmah lebih baik ketimbang rentetetan panjang nasihat yang dikeluarkan hingga berbusa-busa.

Terima kasih atas kebiasaan-kebiasaanmu yang kau perkenalkan padaku. Terutama kebiasaanmu, menjalankan ibadah, menyembah Tuhanmu. Dari situ aku berpikir bahwa peran Tuhan sangat penting dalam kehidupan kita…(hal 278)

Secara keseluruhan, The Dream in Taipei city menghadirkan jalinan kisah persahabatan multi kultural yang manis. Kehangatan kasih sayang orang tua dan anak. Juga romansa hati yang bening hingga sanggup menggetarkan jiwa.

“Biarkan cinta kita tetap tersembunyi, dan hanya Tuhan yang berhak menentukan bagaimana aku dan kamu…” (hal 358)

Di tengah riuh tawa dan semangat pemuda-pemudi di NTU, kisah menginspirasi ini tercipta. Seharusnya beginilah para generasi muda. Tumbuh dengan segala keceriaan dan kerja keras yang melahirkan pengalaman dan berujung pada pembentukan karakter pemimpin ke depannya.

Sebuah buku yang layak baca, hingga 360 halaman pun terasa kurang untuk dinikmati.

Selamat Membaca:)

2 komentar: