Rabu, 26 Desember 2012

Belajar Bersahabat dan Menjaga Persahabatan dengan Friendship Never End.



 Persahabatan Tak Pernah Berakhir

            Sudah setua ini baru sadar, mengapa aku seperti kehilangan banyak sahabat masa kecilku. Mungkin karena aku masih mengutamakan sifat egois dan selalu menganggap diriku paling benar. Setelah membaca buku cantik berjudul Friendship Never End karangan Santi Artanti, aku jadi sering merenungkan. Bagaimana sebenarnya selama ini aku menjalin persahabatan dengan teman-temanku. Ternyata aku masih jauh sekali dengan persahabatan ala Rosulullah seperti yang disampaikan oleh penulis dengan apik dan bahasa yang mudah dipahami ini.
            Menjalani persahabatan yang tulus itu sangat tidak mudah. Terkadang banyak ketidakcocokan antara satu sama lain dan ketidakterbukaan yang pada akhirnya membawa pada perasaan berburuk sangka. Dalam buku ini juga disampaikan bagaimana cara membina persahabatan agar selalu terjaga dan tidak dikotori dengan berbagai macam perasaan buruk. Dan tentunya hal tersebut dapat dicapai dengan kekuatan iman. Dengan iman yang kuat maka akan tercipta kehidupan yang saling selaras, memahami dan saling memaafkan. Jika kita berbuat kesalahan maka jika kita termasuk orang yang beriman, kita akan tersadar dengan sendirinya untuk meminta maaf kepada orang lain. Begitupun sebaliknya, dengan bekal iman yang kuat kita akan mudah memaafkan kesalahan orang lain.
            Penulis juga mengingatkan, bahwa berhati-hatilah dalam bergaul dan memilih sahabat agar tidak membawa kita kepada kemungkaran. Membaca buku ini sempat membuat hatiku gerimis ketika merenungkan kembali kenangan persahabatanku dengan sahabat-sahabat masa kecil sampai remaja… karena keadaan yang begitu tidak mendukung, terpaksa tidak bisa selalu bertemu atau sulit untuk menghubungi. Namun, mereka selalu masuk ke dalam mimpiku yang berarti aku masih sangat mengingat dan merindukan sahabat-sahabatku dimana saja.
            Thanks banget untuk Santi Artanti yang telah mengajarkan banyak hal dan perenungan dalam buku ini hingga aku sadar, bahwa persahabatan itu tidak seharusnya selesai sampai di sini. Bahkan harus mengingatnya sebagai kenangan indah. Sahabat itu bukan membuat sahabatnya menangis tapi dapat merubah tangisnya menjadi senyuman.
           
 Baca buku ini ga bakalan nyesel...

Thanks untuk barternya ya say Santi Artanti :)
By Mells

Senin, 26 November 2012

Novel Gokil Debut Ke-3 : Bakal bikin kamu terbebas dari stress


SINOPSIS
EKSPEDISI CINTA GOKIL SI DAREN

“Menurut Nyokap gue yang dulu nggak sekolah setinggi gue, cari jodoh itu lebih sulit dibanding cari uang. Dan Nyokap paling suka dengan yang namanya mahasiswi. Katanya mahasiswi itu cantik-cantik dan pintar. Makanya Nyokap ngotot gue harus 
dapet istri yang mahasiswi”.

Itulah sepenggal kisah tentang Si Daren, Mahasiswa Abadi, di salah satu kampus. Meski udah semester 7, beberapa tahun ini dia nggak lulus-lulus. Bukan karena dia bodoh, tapi dia memang sengaja gak ingin lulus cepet-cepet, aneh kan? Salah satu alasan besarnya gak mau lulus adalah karena dia belum dapetin cewek idaman yang bakalan jadi istrinya. Selain karena harus berbakti pada nusa, bangsa dan orang tua, dia juga berpikiran bahwa tempat yang tepat untuk mencari jodoh hidup itu adalah di kampus. 

Daren kepikiran tentang hidup berumah tangga sejak masuk kuliah. Agak gila sih, tapi itulah dia. Sudah sekitar tujuh tahun yang lalu, karena so pasti di SMA dia nggak mungkin dapetin cewek sekolah lalu dia nikahin. Semua-muanya masih bau kencur terkadang juga bawang bombay atau jahe. Dan tentu gak bijak dong kalau dia maksa anak di bawah umur nikah sama dirinya, hehhehe…!

Karena dia masih belum juga dapetin cewek pendamping hidup di kampus tercintanya, maka dia memilih nggak lulus kuliah. Toh, orang tuanya tetep mendukung sampe titik darah kekeringan. Soal duit kata bokapnya, nggak perlu dipikir. Pokoknya prinsip dia hanya satu, dia baru mau lulusin kuliah saat sudah ada cewek yang mau jadi istrinya. Titik. 

Ekspedisi cinta Si Daren memang super gokil, tak jarang pula diiringi keapesan. Daripada kalian penasaran, silakan simak kisah hidup Daren, Si Mahasiswa Abadi yang bener-bener butuh cinta. Siap-siap nahan tawa di setiap kisah perjalanan cintanya yang gokil dan unik....


Review : Crying Winter- Antara Buku dan Hape


Judul: Crying Winter
Penulis: Mell Shaliha
Penerbit: Diva Press
Review by : Leyla Imtichanah
Akhirnya saya berhasil juga menamatkan buku ini, setelah dikirimi inbox oleh penulisnya, hehe…. Ya, belakangan ini, tepatnya setelah si baby lahir, saya jadi sulit meluangkan waktu untuk membaca buku. Padahal, sebelum buku ini sampai ke tangan saya, gratis dari penulisnya, saya sudah punya beberapa novel yang mengantri dibaca. Dan sebenarnya, saya punya waktu untuk membaca buku, misalnya saat sedang menyusui. Tapiiii…. Gara-gara menang lomba blog berhadiah pulsa 300 ribu (dua lomba blog, masing-masing dapat pulsa 150 ribu), ponsel pintar saya yang biasanya tergeletak tak berdaya, kini jadi tak bisa lepas dari tangan. Kegiatan saya saat luang, ya browsing, fb, twitter. Apalagi setelah kena virus para quiz hunter, saya ikut-ikutan jawabin kuis di twitter. Iseng-iseng berhadiah. Ada yang menang, lebih banyak yang gagal. Pengalaman hadiah terbesar dapat 2,5 juta dari jawab kuis. Ups… ntar pada ikutan juga, lagi! Mending jawab kuis ya daripada nulis buku, hihihi…..

Baiklah. Setelah saya paksakan menyingkirkan dulu hape saya itu, novel ini pun berhasil selesai dibaca. Di halaman awal, sejujurnya saya merasa sulit mencerna ceritanya, karena memang cukup berbobot. Tentang terorisme yang disebarkan melalui virus H1N1 atau flu babi. Agak terkejut kalau mengingat latar belakang penulisnya yang mantan Buruh Migran di Hongkong. Maaf, kalau di Indonesia, pekerjaannya sama dengan Pembantu Rumah Tangga. Ini nih yang terlintas di benak saya, “Wah, Mell Shaliha cerdas juga yak, bisa nulis kayak gini.” Nah, masalahnya, saya baru membaca buku kalau mau tidur. Sambil menyusui dan mengeloni anak-anak, saya baca buku itu. Saat itu, keadaan saya sudah low bat. Badan udah pegal-pegal, pikiran udah sumpek. Jadi, begitu dihadapkan pada cerita yang lumayan “berat,” bawaannya ngantuk.

Sungguh, ini bukan kesalahan penulisnya. Buku ini cukup berbobot. Sebuah pencapaian besar dari seorang Mell Shaliha. Bayangkan, dia sudah menulis tema yang berat di novel keduanya, sedangkan saya masih menulis yang ringan-ringan saja sampai novel ke-13. Jadi, semurninya ini kesalahan saya yang memang sudah low bat, jadi kesulitan mencerna ceritanya dengan cepat. Mulanya saya kesulitan membedakan antara Damar dan Dimas, karena pekerjaan keduanya yang rada mirip: wartawan. Tapi, lama-lama bisa juga dibedakan setelah cerita lebih banyak berkisah pada Dimas, yang terjebak pada organisasi teroris.

Saya percaya, semua penulis novel pasti memasukkan sebagian dirinya ke dalam tulisannya, entah itu sifat tokoh, latar belakang, pekerjaan, dan lain-lain. Pernah ada seorang penulis novel yang tidak mau dituduh memasukkan sebagian pengalaman hidupnya ke dalam ceritanya, tapi saya yakin itu bohong. Kalau penulis novel tidak memasukkan sebagian kisah hidupnya, dijamin kisahnya garing dan kering, karena penulis tidak menjiwai ceritanya. Begitu juga Mell Shaliha. Akhirnya, saya temukan juga tokoh yang saya yakin adalah si Mell itu juga, sebagaimana dalam novelnya yang pertama; Hongkong, Xie Xie Ni De Ai.

Oke, deh. Di awal cerita, saya sempat bertanya-tanya, mana nih tokoh perempuannya. Masa sih gak ada? Karena cerita terus berputar antara Dimas dan Damar. Rasanya garing ya kalau tidak ada romantis-romantisnya. Hingga sampailah cerita pertemuan Dimas dengan dua gadis, Faye dan Kana, gadis Korea dan Rusia. Saya sudah mengira, sepertinya salah satu dari gadis ini akan menjalin cinta dengan Dimas. Dugaan saya hampir benar hingga datanglah Erni, inilah tokoh yang merupakan penjelmaan penulisnya. Sebagaimana Alena di novel Xie Xie Ni De Ai, Erni ini berprofesi sebagai Buruh Migran di Hongkong. Entah bagaimana novel ketiga Mell nanti, apakah masih memasukkan tokoh Buruh Migran? Saya pun berubah pikiran. Sepertinya hubungan romantis itu akan terjalin antara Dimas dan Erni.  Apalagi setelah mereka sering chatting di facebook, wah semakin yakinlah saya bahwa keduanya akan menjalin cinta.

Namun, sebagaimana novel spionase, novel ini memberikan kejutan-kejutan kepada pembaca, yang tak sesuai dengan dugaan semula. Meskipun, menurut saya, pemotongan adegan tiap babnya kurang cantik, sehingga kurang memancing saya untuk meneruskan membaca.  Juga di bagian ending, rasanya terlalu mudah. Tapi, patutlah diacungi jempol kepada penulisnya, yang sukses menulis novel spionase dengan topik berat sebagai debut kedua.  Tidak mudah menulis novel semacam ini. Terlebih settingnya berganti-ganti antara Gunung Kidul Yogyakarta, Korea, dan Hongkong. Mell sanggup melukiskan setting Korea dengan detil, meskipun tak pernah ke Korea. Kalau Hongkong, saya yakin Mell sudah merekamnya di dalam kepala karena pernah beberapa tahun tinggal di Hongkong. Seperti di novel pertama, ada beberapa dialog yang menggunakan bahasa Korea dan Hongkong.

Ada satu kesalahan bahasa yang banyak terjadi di novel ini, yaitu penggunaan kata “secara.” Salah satunya di halaman 188.

“Waktu tak berpihak padanya, sungguh tak biasa Damar mematikan HP-nya, secara ia seorang wartawan yang selalu berhubungan dengan publik.”

Penggunaan kata “secara” itu tidak tepat. Sayangnya, penulis beberapa kali mengulanginya. Penggunaan kata “secara” yang tidak tepat itu, belakangan ini memang sering digunakan dalam percakapan sehari-hari, tapi sesungguhnya tidak benar dalam kaidah penulisan. “Secara,” artinya “dengan cara.” Jika dimasukkan ke dalam kalimat di atas, jadi bagaimana?

Beberapa kali juga dituliskan kata “Kalian” dengan huruf kapital di awal. Padahal, kata “Kalian” itu ada di tengah-tengah kalimat. Jika kata “Kalian” menggunakan huruf kapital, berarti kata “aku, saya, kamu, mereka” juga menggunakan huruf kapital di awal, ya? Kemungkinan ini kesalahan pada editing.

Sekian cuap-cuap saya. Nikmatnya menjadi pembaca adalah mudah mengomentari apa yang dibacanya, tapi belum tentu bisa menulis yang lebih hebat daripada yang dibacanya, hehehe… Semoga sukses buat Mell Shaliha


Selasa, 06 November 2012

New Release 'Novel Crying Winter' - Penuh liku & menegangkan.


SINOPSIS & Gambaran Setting Nyata

Sebuah Jaringan terorisme international Betha 99 yang bermarkas di Hongkong tengah menyiapkan sebuah virus yang efeknya lebih dahsyat daripada virus  flu burung maupun flu babi yang pernah menyerang dunia beberapa tahun lau. Sebuah virus yang anak disebar dengan sangat keji.
Sementara itu , sepasang kembar Dimas dan Damar terpisah ribuan mil. Tiga tahun sudah Dimas tak memberi kabar sejak kepindahannya ke Hongkong untuk menjalani pendidikan setelah  sebelumnya bekerja di Korea Selatan. Berbekal pesan sang ibu yang tengah diburu maut, berangkatlah Damar ke Hongkong untuk membawa Dimas pulang.
Kebingungan dan kecurigaan seketika menyeruak di pikiran Damar ketika menemukan gelang  Dimas tergeletak di sekitar bangunan yang diketahui sebagai markas besar Betha 99. Mengapa gelang Dimas ada di sana? Sesungguhnya apa hubungan Dimas dengan jaringan Terorisme itu? Dengan cara apa virus mematikan itu disebarkan? Dan, berhasilkah Damar membawa pulang kembali Dimas?
Temukan jawabannya dalam novel yang penuh intrik menegangkan ini. sebuah kisah spionase yang memikat. Selamat membaca!

Judul               : Crying Winter ( Musim Dingin Yang Memilukan)
Penulis             : Mell Shaliha
Penerbit           : Diva Press
Halaman          : 334
Harga              : Rp 40.000,00
ISBN               : 978-602-7640-49-8

Bisa dipesan melalui inbox Facebook Mell Shaliha atau komentrar di blog ini :) thanks.

Mau lihat lebih jelas setting aslinya, silahkan mampir ....
(1)
---> Ini di wilayah hutan The Peak Hongkong yang memang pernah didatangi penulis sendiri... lihat saja foto narsisnya :)

(2) Ini wilayah Hongkong jika dilihat dari puncak The Peak  ketinggian sekitar 2200 ft. Adeem...!!!





(3) Yang ini adalah gambaran tempat rahasia yang digunakan para teroris untuk menyembunyikan serta menyiksa para tahanan. Gambarannya seperti penjara Guantanamo. Tapi ini hanya cerita fiktif saja yang menggunakan setting asli dari tempat yang pernah ditemukan oleh penulis.


*Well jika penasaran sama ceritanya, yuuk mari pesan bukunya di mari yaa ada special sign juga dari penulis... ini CIYUS lho...!!

Selasa, 11 September 2012

My Second Novel Coming Soon - CRYING WINTER-


"Tepat pada musim dingin di akhir tahun 2012, JR menginstruksikan penghancuran terhadap wilayah  Asia yang di mulai  dari Hong Kong. Ia mengharuskan pertumpahan darah demi menguasai negara-negara incarannya. Dan James adalah satu-satunya orang kepercayaan JR yang bertanggung jawab melaksanakan penghancuran itu dengan bio terorisme."

Penasaran?
Tunggu novel ini beredardi akhir Bulan Oktober 2012 di seluruh toko buku nasional atau dapetin tanda tangan penulisnya dengan memesan langsung buku ini via :
# mellschips_01@yahoo.com  atau facebook : http://www.facebook.com/LadyLawliet

[cerpen jadul] BERAKHIR DI JANUARI



            Hai temans, selamat datang, lagi ke blog Mells. Berikut aku share Cerpenku dengan judul "Berakhir di Januari" yang pernah terbit di Tabloid Apa Kabar Indonesia tahun 2010 lalu. Cerpen ini aku buat saat masih belajar nulis belum lama. Meski nama penaku bukan Mell Shaliha, tapi ini bener-bener hasil karyaku yang masih unyu banget. Maaf yaa kalau rada Alay..., selamat membaca dan boleh banget di kritisi :)

BERAKHIR DIJANUARI
By: Lady - L 

“Uhuk-uhuuk..”, dadaku sesak tiba-tiba, tersedak. Menatap teman kostku tajam, hingga mimiknya tak enak.
“Kamu lihat Dani di mana Mbak?” tanyaku memburu. Mbak Win, temanku itu menjawab keras-keras, “di Mall, denger gak?” Aku menghindari mulutnya yang bersuara stereo dengan sigap. “Oh.” Responku singkat.
“Oh…? Oh gimana si? Dia jalan sama cewek Yur, kamu gak cemburu apa?” desaknya. “Ah, mbak salah lihat kali, dia bilang mau keluar kota kok.” Sambungku.
“Waah, ya sudah kalau kamu ‘ngeyel’, telpon aja dia, tanya di mana sekarang.” Mbak Win ngotot.
“Oh, ya nantilah, gak usah buru-buru.”
“Weh, dia kan calon suamimu Yur, sadar gak sih. Katamu dia alim, gak suka main-main sama cewek, setia…katamu, dia satu-satunya orang yang kamu percaya. Gimana si kamu Yur, aku seriuuuus niiih!” Mbak Win memaksaku lagi. Tapi aku tak peduli, aku percaya saja dengan kata-kata Dani. Toh Mbak Win belum juga kenal sama Dani, jadi wajar saja dia sewot, takut kalau aku di bohongi. Padahal aku sangat percaya, Dani tidak akan macam-macam. Apalagi dengan cewek, itu si penilaianku selama ini. Jadi keputusanku adalah tidak menelponnya. “Yar ..Yur…Sayur kali…!” Ledekku menepis kata-katanya.
            Dani itu calon suamiku katanya- , hubungan kami sudah lama sebagai teman. Dari SMP sampai SMU, lalu berpisah setelah lulus. Dia kuliah, aku kerja. Aku yang pertama suka sama Dani. Bawaannya yang sederhana dan tegas, terkesan cool. Berbeda dengan teman-teman sekolah cowokku yang lain. Aku baru melihatnya saat SMU, dia aktif di organisasi sekolah dan Tae Kwon Do. Dia…tidak pernah pacaran. Setelah aku renungkan, justru pilihanku tepat padanya, ya- aku mulai menyukainya. Sebagai teman yang lumayan akrab, aku berani bilang kalau aku suka. Mungkin terlalu berani sebagai cewek, tapi…kalau tidak begitu, dia mana tau perasaanku. Tak lama kemudian, mungkin dia kasihan melihatku yang sok sedih jika sedang memandangnya dari ujung kelas. Akhirnya dia menerimaku. Sejak memutuskan jalan bareng, kami malah jarang ngobrol, malu. Entah kenapa. Paling berpapasan sebentar, bertanya hal-hal yang tidak penting, kemudian berlalu.
            Setelah bekerja dua tahun di sebuah butik batik, hubungan kami menjadi lebih mudah, kami masing-masing memiliki telepon genggam. Mengirim pesan yang tidak penting, atau menanyakan kabarnya. Kami malah hampir tak pernah bertemu lantaran kesibukan masing-masing. Tapi tak apalah, justru itu baik bagi kami, mengurangi dosa atau apalah, kami memang belum punya rencana menikah. Bukan –tepatnya dia, kalau aku sudah siap menikah semenjak bekerja. Mungkin benar kata orang, bahwa wanita akan lebih matang pemikirannya dibanding laki-laki meskipun usia masih muda. Aku juga pernah suatu saat mengajak Dani ngobrol soal pernikahan, dia toh sudah berhasil sekarang. Kuliah sudah kelar, sudah bekerja mapan, tapi untuk menikah katanya tunggu dulu. Paling tidak dua atau tiga tahun lagi.
            Jujur saja aku tak enak dengan penilaian orang. Meski kami jarang kelihatan bersama, tapi tetanggaku di rumah dan teman-temanku tahu kalau Dani calon suamiku. Kadang juga aku merasa hubungan seperti ini tidak ada ujung pangkalnya. Aku hanya seorang wanita, apa pantas jika aku memaksanya untuk menikahiku sedang dia sendiri merasa tidak sanggup? Bapakku juga pernah menyarankan untuk putus saja ketimbang hubungan menjadi tidak berujung.
“Kamu sama juga dengan pacaran Yur kalau seperti itu. Meski jarang ketemu, tapi kalian punya ikatan janji. Tapi janji di bibir saja! buktinya dia toh tidak juga sanggup menikah!”  kalimat panjang bapak beberapa bulan lalu masih kuingat. Bahkan aku sempat melakukannya. Mengajak Dani berpisah saja jika terlalu lama.
“Apa tidak lebih baik kita jalan sendiri-sendiri saja Dan, biar kita masing-masing lebih konsentrasi ke pekerjaan? Kamu juga belum siap menikah kan?”
            Tak pernah ada jawaban setuju untuk sebuah perpisahan. Aku rasa hubungan semacam ini tidak ada untungnya –bukan, aku bukan mencari keuntungan, maksudku manfaat. Hal ini hanya buang-buang waktu. Pikiranku terus berputar, seiring sentilan kata-kata Bapak atau terkadang Ibu yang bergantian mengingatkan. Tapi sungguh aku belum bisa mengindahkan mereka, lebih-lebih aku semakin tidak tahu harus bagaimana. Perasaanku? Entahlah, aku tak bisa bilang mencintai tapi juga tidak membenci. Datar-datar saja, kalau cemburu terkadang ada. Melihat sosoknya.. sangat membuatku tak tega untuk meninggalkan begitu saja. Tapi aku juga tidak mengasihani dia –atau mungkin simpati?
            Pusing. Aku tak bisa melihatnya sendirian, rasa sosialitasku muncul ketika bertemu dengan sosoknya yang bercerita tentang masa lalunya. Tentang orang tuanya yang bercerai dan tidak menerimanya sebagai anak. Hatiku merasa teriris ketika mendengarnya berbicara, “mungkin aku ini anak haram, orang tuaku tak sudi merawatku sejak bayi.” Memang, Dani hanya tinggal bersama nenek buyutnya. Hanya ada dua orang  yang tinggal di rumah joglo tua itu, dia dan neneknya. Ibunya menikah dan punya seorang putra lagi, sedang ayahnya konon juga mempunyai keluarga sendiri. Dani benar-benar sebatangkara, itulah yang membuatku merasa harus bertahan. Aku memang sok, tapi aku berusaha menyayanginya hingga dia bisa merasakan arti sebuah keluarga. Juga dengan Bapak-Ibuku, mereka menganggap Dani seperti anak sendiri. Hanya saja, perubahan itu membuat aku dan keluargaku sekarang merasa tidak harus mendampinginya lagi. Kemapanan, kemandirian dan kesibukannya.
            Keluargaku bukan keluarga kaya, tapi pendidikan agama yang diberikan Bapak- Ibuku cukup kuat. Meski aku belum bisa mengindahkan teguran mereka, bukan berarti aku tak berpikir soal itu. Aku sedang dilema. Setelah lulus kuliah dengan susah payah, Dani mendapat pekerjaan yang jujur saja –sangat bertentangan dengan nuraniku. Aku semakin ragu untuk meneruskan hubunganku dengannya hingga pernikahan. Ilmu agama yang pernah aku pelajari dan aku jadikan prinsip selama ini yang semakin menunjukkan perbedaan jalan yang kami tempuh. Dulu, semasa masih susah, Dani seorang yang taat beribadah, dia juga mengajariku tentang puasa sunnah dan tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Tapi sejak bisnisnya sukses, di pertemuanku dengannya belum lama ini, aku perhatikan dia melalaikan sholatnya. Bukan hanya menunda, bahkan tidak melaksanakan. Aku kecewa dengan perubahannya itu, sayang dia tidak sadar.
            Dani berubah, apakah hatinya juga demikian? Aku sempat berfikir namun tak berani berprasangka yang terlalu. Aku selalu mencoba mempercayainya hingga detik ini, bulan ini –Januari. Dua hari lagi adalah ulang tahunku yang ke-24. Tapi biasa saja, tidak pernah ada yang istimewa, aku justru malah lebih banyak merenung seiring berkurangnya jatah usiaku. Berfikir hal-hal yang mungkin akan terjadi setelah Tuhan memberiku tambahan waktu lagi. Yang tidak biasa di hari jadiku tahun ini hanya satu, Dani –dia sama sekali tidak menelponku, bahkan mengirim do’a via pesan singkat seperti dulu, hingga lewat hari terakhir bulan Januari.
            Ada kekosongan yang aku rasakan tanpa satu katapun do’a darinya. Kini, perubahan itu semakin terlihat. Sepertinya Tuhan benar-benar mengingatkanku untuk membuka mataku yang ‘buta’ oleh kepercayaan yang tidak jelas. Oleh satu kata yang jujur saja aku membencinya –pacaran. Tidak ada janji yang ditepati, tidak ada kata yang bisa dipegang seperti tali, justru busur-busur yang membuat hatiku kian berlubang. Aku sudah tahu jawaban dari pertanyaanku yang tak terucap, kemana dan dimanakah dia?
            Tengah malam, 31 January 2008. Perempuan yang mengaku bernama Ana  menelponku. Aku tidak pernah mengenalnya, namun jauh-jauh hari aku tahu nama itu sering disebut sebagian orang yang mengenalku, juga Dani. Perempuan itu patner kerjanya disebuah perusahaan multilevel marketing.
“Apa mau kamu sebenarnya? Mulai sekarang, jangan pernah mengganggu Dani lagi.” Kalimatnya yang lugas itu mengagetkanku, “jadi apa maksud anda dengan menelpon saya tengah malam begini, mbak?” Jawabanku kaget.
“Tinggalkan dia. Dani adalah milik saya, dia tersiksa berhubungan dengan anda. Sudah dua tahun terakhir kami sangat dekat, dia banyak mengeluh tentang hubungannya dengan anda. Putuskan saja dia segera!” setelah kalimatnya yang panjang dan belum sempat aku jawab, telepon itu ditutupnya.
            Hampir tidak ada air mata yang jatuh ketika itu. Aku hanya tersudut oleh kata-kata yang tidak aku mengerti. Setelah pembicaraan terakhir dengan Dani malam itu, aku putuskan meninggalkannya. Siapa yang mau menjadi pilihan? Aku kembali pada niatku, kebahagiaan Dani. Ya –mungkin dengan orang lain Dani bisa lebih bahagia, dibanding aku yang tidak bisa mendampinginya setiap saat. Seseorang yang kita butuhkan tentu saja yang bisa membuat kita bahagia bukan? Dan aku paham, waktu bukanlah jawaban, lama atau singkatnya hubungan itu –bukanlah jaminan.
            Aku? Kebahagiaanku? Cukup sudah pemberian Tuhan selama ini, keluarga. Orang tua dan sahabat, aku masih memiliki banyak pintu kebahagiaan untuk bangkit. Kehilangan Dani bagiku hanya sebuah kebahagiaan kecil yang tak bisa kurengkuh dan petunjuk yang semakin jelas. Cinta itu mungkin belum saatnya atau tidak tepat?
         
         Dani, suatu saat kau pasti merasakan, apabila hatimu sakit seperti berlubang dan tertiup angin, saat itu kau akan mengerti akhir dari kisah ini.

***
[The Last memory, 11 Nov 2009] terbit di Tabloid Apa Kabar Indonesia 2010.
           





  

Senin, 10 September 2012

Masa Putih Abu-Abu

Hai..hai... jumpa lagi di blog sederhana Mells, Bangunkan Penamu!

       Kali ini ngebahas soal  masa SMA. Karena sekolahku cuma sampai SMA hehe...yach masa sekolah memang masa paling indah meski ketika itu masa-masa paling sulit buatku. Banyak hal yang berkesan saat di SMA. Sebenarnya aku melanjutkan study-ku di SMK. Tepatnya di SMK N4 Jogjakarta. Aku mengambil jurusan Pariwisata-bistud Akomodasi Perhotelan.  Di sekolahku mayoritas cewek, hanya beberapa gelintir cowok, apalagi di kelasku, cuma empat orang. But, smua asyik dan mengesankan.
       Saat di sekolah dari SMP sampai SMK aku mempunyai impian menjadi pengurus OSIS, tapi impian hanya impian, apesnya aku nggak pernah terpilih menjadi pengurus OSIS. Mungkin aku kurang dalam segala hal, jadi aku mengalihkan konsentrasiku pada mimpi yang lain. Seperti main basket atau saat di SMK aku memilih extracuruculer debate. Hal itu yang sampai saat ini masih terkenang.
       Pertama kali aku ikut lomba debat, adalah pada kompetisi terbesar se Jateng DIY. pas itu aku sama sekali belum mempunyai pengalaman. melihat lawan pertama yaitu SMU Tarakanita Magelang, wuuuiiish  rasanya pingin kabur duluan. pasalnya melihat wajah n cover mereka yg serba chinese udah bikin mentalku down. Aku sama sekali nggak konsen pada materi dan tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun.
Hal itu membuatku sangat menyesal dan berusaha mengembangkan diri, hasilnya lumayan.
       Setelah lulus dari  SMK aku tidak pernah lagi berfikir memasuki dunia debat lagi. Kecuali hanya sebuah mimpi. Mimpi ketika aku bisa kuliah, mengambil fakultas yang merupakan impianku juga, yaitu pendidikan bahasa Inggris. Namun hal itu tidak pernah terwujud sampai sekarang. Bahkan aku tidak berani lagi bermimpi untuk itu. Dalam benakku, ilmu debatku tidak lagi berguna dan aku harus rela menguburnya dalam-dalam. 
        Ternyata aku salah besar. Setelah sekian tahun aku tidak pernah menyentuh dunia debat, seorang kawan meminta bantuanku untuk menjadi pelatih debat di sebuah SMK di  GK. Dengan semangat aku membantu mereka via online karena waktu itu aku masih di HKG. Setiap tahun berturut-turut mereka memintaku melatih anak didik baru. sampai tahun kemarin, aku bisa langsung terjun ke SMK untuk mendampingi mereka pada saat  kompetisi. Waah senang, mengenang masa-masa menegangkan, harus case building, melatih body language saat speaking dan memberikan semangat pada mereka. Rasanya muda lagi. 
        Meski team debate dari sekolah itu hanya masuk peringakat 13, tapi dari sekian kompetisi, mereka selalu menang, hanya karena point mereka kalah. Lawan main lumayan bagus dengan sistem skor yang sebenarnya sangat disesalkan. But it's okay, selama bisa berkompetisi, hal itu sudah sangat luar biasa.
Karena menjadi seorang debater butuh kepercayaan diri yg tinggi dalam berargumen dengan tim lawan pun juga harus bisa meyakinkan judges dan audiens. Bangga deh rasanya bisa terjun lagi dengan motion-motion luar biasa yang harus kami bahas dan diperdebatkan dalam sebuah kompetisi debat. Hal itu membuktikan bahwa ilmu itu akan selamanya bermanfaat.
        Bulan Oktober biasanya seluruh SMU atau SMK mengikuti even English Debating Competition, entah untuk tahun ini. Aku berharap bisa menyaksikan lagi adik-adikku mengikuti kompetisi lagi. Semoga lebih baik dari yang kemarin... amin... Semangat!

Hal apa yang paling berkesan di sekolahmu?
* kalau aku memakai seragam putih abu-abu :)


MellsWritingZone.   

Senin, 03 September 2012

Jejaring Sosial Ajang Promosi & Transaksi

'Penulis perlu juga ilmu berdagang.'

        Berdagang memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Membayangkan kata dagang bagi saya sungguh sesuatu yang amat menakutkan sebelumnya. Jika ingin menjual sesuatu biasanya sudah keduluan beberapa sindrom merugikan ini :
1. Takut kalau dagangannya nggak laku karena tidak bisa ber-iklan yang menarik.
2. Takut rugi -soal kepercayaan dan hitung menghitung uang.
3. Takut komplain - tidak siap mental menerima berbagai komplain.
4. Modal yang pas-pasan.
      Ketakutan itu yang cenderung menghalangi kita untuk mencoba berniaga. Namun tidak semua orang mempunyai kendala yang sama, kendati demikian ke empat hal itu cukup menghambat kemajuan usaha. Belajar dari berbagai macam kegagalan, intinya hanya 'tidak takut untuk mencoba.' Karena semua usaha pasti punya resiko. Jika kita tidak berani mencobanya, kapan mau maju?
Salah satu cara berniaga yang mudah dan cepat adalah dengan memanfaatkan jejaring sosial. Banyak sekali jejaring sosial yang digunakan banyak orang untuk berniaga. Baik sekmen kecil maupun besar, seperti jual beli online di Facebook, Twitter, Blog dan banyak lagi di Internet bahkan sampai diiklankan di TV. Kita hanya tinggal pandai-pandai memanfaatkannya. Tidak sekedar having fun dengan teman tapi juga menghasilkan kemajuan yang lebih dari sebelumnya.
        Lalu mengapa penulis perlu belajar berdagang? jawabnya pasti semua sudah jelas. Karena penulis juga berperan menjual buku-buku karyanya. Jika tugas penulis hanya menulis dan menunggu hasil penjualan dari penerbit, hal itu sangatlah tidak cukup. Sebagai penulis yang sudah melahirkan karya, tentu saja penting sekali untuk mempromosikan buku masing-masing agar banyak pembaca yang tertarik dan membeli buku kita. Selain membantu karya kita terjual lebih banyak, hal ini juga membantu memperkenalkan karya kepada publik yang terkadang tidak cukup mendapatkan informasi atau iklan dari penerbit yang bersangkutan. Sehingga masih banyak publik yang tidak mengenal karya kita.      
       Di sisi lain, penulis juga bisa mengambil keuntungan dari proses jual beli karyanya. Tidak bisa dipungkiri dan tidak perlu naif tapi patut bersyukur. Mengenai honor yang terkadang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan satu bulan, karena semua royalty dan honor adalah wewenang penerbit untuk menentukan berapa besar yang akan kita terima dari penjualan naskah. Maka penulis bisa menambah uang saku dari hasil penjualan bukunya. Baik secara online maupun langsung. Tentu saja semua ada kelebihan dan kekurangannya. Apabila kita punya toko buku sendiri, otomatis tidak perlu susah mencari tempat, tapi hal itu berat bagi penulis yang tidak punya tempat untuk jual beli. Salah satu cara yang mudah adalah dengan Jual beli Online.
        Meski ada kemungkinan resiko ditipu pada saat menjual Online, namun ada solusi terbaik. Setelah mempelajari beberapa toko buku Online dan banyak online shop lain, kita hanya tinggal mengatur cara pembayarannya saja. Istilahnya biasa kita dengan 'ada uang-ada barang'.  Jika pembeli telah mentransfer dan terbukti uang masuk, maka barang baru dikirim. Hal itu untuk menghindari penipuan dalam pembayaran, sehingga penulis tidak mengalami banyak kerugian. Sebaliknya apabila uang dari pembeli telah diterima, hendaknya penulis yang notabene juga penjual harus segera mengirimkan buku dengan segera sesuai perjanjian. Dan perlu diingat bahwa resi pengiriman barang harus kita simpan baik-baik sampai barang yang kita kirim benar-benar sampai kepada pembeli. Jika terjadi masalah kita bisa mengklaim pada jasa pengiriman yang bersangkutan untuk diproses dengan baik.
       Nah hanya itu kiranya yang harus dipersiapkan demi lancarnya usaha kita sebagai penulis yang juga ingin menjual buku-buku kita untuk umum. Jika tidak mampu mempersiapkan tempat dan modal yang besar, kita bisa menggunakan media Online sebagai ajang promosi dan transaksi. Modal tidak perlu besar, kita tinggal membeli buku dari penerbit sesuai pesanan saja, tidak perlu menyetok jika tidak yakin seandainya buku kita akan terjual semua. Perlahan tapi pasti, dengan sering menampilkan gambar cover buku, resensi atau interaksi dengan publik, buku kita akan dikenal orang dan membuat orang lain penasaran untuk membacanya. Dan perlu diingat bahwa penulis yang menjual buku-bukunya mempunyai satu kelebihan dibanding toko buku. Terkadang membeli dari penulisnya merupakan sesuatu yang istimewa, karena pembeli bisa sekaligus me-request  tanda tangan atau kata-kata mutiara penyemangat.
* ^_^ maaf alay.

Tidak percaya?
Saya buktinya :) *iklan, selama ini saya tidak bisa berdagang dan belum pernah berdagang. Tapi seiring terbitnya novel saya yang pertama dengan judul Xie Xie Ni De Ai, saya sering menampilkan foto covernya dan juga informasi harga serta resensi sederhananya melalui facebook, twitter dan Blog. Dan dari situ, orang-orang mengenal nama saya dan novel saya, dengan seringnya wira-wiri di facebook, cover novel saya berhasil membuat teman-teman Fb saya penasaran dan memesan novel saya. Alhamdulillah saya berhasil menjual lebih dari 150 eksemplar novel saya. Meski hanya sekitar ratusan, hal itu sudah sangat hebat, secara saya bukan orang yang pandai berdagang. Dan sedikit banyak saya pun ikut berperan dalam penjualan novel saya hingga best seller hingga mengalami cetak ulang.
So, buktikan dengan karya kawan-kawan semua. Penulis itu tidak boleh pesimis dan harus mempunyai pemikiran yang lebih maju. Tidak Stuck dan mudah berpuas diri.

Selamat mencoba kawan!

Kartasura, awal September 2012.


Jumat, 10 Agustus 2012

.: Hijabers Corner :.

.: Hijabers Corner :.

Mainkan peran kita dengan santun dan terjaga. Bekerja dalam ruangan maupun lapangan bukan halangan. Go go go... muslimah... :)

Rabu, 01 Agustus 2012

Puisi Bebas - Tentang Alam -



        Selamat pagi kawan, kali ini saya memposting puisi yang dulu pernah kena tipu saat lomba. Ada pengumuman lomba puisi, saya ikuti dan saya mengirim 5 naskah puisi tentang alam dan keadaan kota tempat tinggal yang berhubungan dengan isu sosial. Tapi setelah tanggal pengumuman, tidak ada panitia satu pun yang bisa di hubungi. Akhirnya masih nganggur, dua diantaranya ini... 
Menunggu Janji , saya dapat idenya di pasar Klewer , Solo, saat jalan-jalan. Di depan saya banyak sekali pedagang kaki lima yang panas-panas menjajakan dagangannya. Ada pengemis, ada berbagai macam orang dengan keadaan yang mencolok sekali perbedaannya. Entah harus bersyukur atau prihatin...dan inilah jadinya.

Yang ke dua Tobong, puisi ini saya buat saat jalan-jalan menuju pantai di daerah saya Gunungkidul. Sesuai apa yang sempat saya baca di koran, Gunungkidul merupakan daerah batu kapur. Dan di sana sedang marak  didirikan tobong-tobong gamping (batu kapur)  ilegal yang dampaknya terjadi tanah longsor. Dan itu sangat merugikan masyarakat yang lain.

Selamat membaca dan mengkritisi kedua puisi ini kawan-kawan...


MENUNGGU JANJI

Melintas sejenak pada binar kesederhanaan ditanah Sunan. Memacu  gigih mimpi-mimpi buta. Kegamangan mencari pendar cahaya harap menebar. Letih terkadang singgah pada titian emosi, menyeruak galau.
Laju roda tak beraturan tiada memberi pilihan pada kaki menapaki aspal. Ah, jika langkah kalah pada ban-ban dijalan, remuk sudah.
Keringat menetes bersatu genangan air di pelupuk, mencipta serpih-serpih asa, pada janji tanah ini. Kejar mengejar sisa kesempatan menengadah zaman. Menelaah debu pada batik-batik kusam tak terjual,
juga bungkus-bungkus dari isi yang tertinggal di alun-alun.
Koyaklah harga diri pada ego Tuan berduit.
Pulang, menyandang serapah sampah yang terbuang sengaja. Menghela kekikiran penguasa.
Lama…
Tertegun dipersimpangan.
Sampai detik berhenti, menunggu  hidup mati kota ini.

Pasar Klewer, Maret 2011.



TOBONG

Kelopak memucat, akar-akar serabut mengering menjadi arang matari. 
Kilas menghijau terdampar pada lelumutan bagai daki di tubuh orang. 
Inilah caraku makan!
Bukan pada kebijakan sang pecundang atau mengemis belas diktator negara, salahkah?

Tunjukkan letak benar di matamu, dan runtuhkan salah dalam tindak tak wajarku, hingga pelipis tak lagi berkerut. Dan garis keturunanku masih bisa memijak gunung subur.
Bertahun memujamu hampa, sekedar melambaikan tangan tanpa payah. 
Kendati batu ini lebur, lubang-lubang menganga jangan jejakmu menginjak!
Biar saja kumati dalam timbun kapur ini.

Gunungkidul, 02 Oktober 2011



 MellShalihaZone.

Selasa, 31 Juli 2012

‎[TIPS] Biar Semangat Menulis


Selamat pagi kawan-kawan,
Gimana sih caranya biar menulis gak begitu terasa membosankan dan selalu bersemangat? Pastinya berbeda-beda dunk, saat kita tertimpa writerblock  atau Writer Bad Mood ^_^ bikin istilah sendiri nih, nah... cara di bawah ini sapa tahu bisa bantu kalian...
Mungkin nggak semua penulis sama, tapi ini yang pernah saya rasakan :

1. Pilih naskah yang sesuai saat itu - biasanya kan nggak hanya satu draft yang tersimpan di lepti, nah sesuaikan saja dengan mood kita saat itu:)

2. Online - ternyata OL nggak selalu merugikan kok pada saat nulis, justru banyak membantu, misalnya : sambil chat atau saling koment antar penulis, bisa jadi cambukan semangat. Karena kita tidak sedang menulis sendiri. Hal itu juga bisa mencambuk keinginan kita untuk 'gak kalah cepet' sama teman penulis yang lain. coba deh...

3. Nulis di pagi hari, pikiran kita lebih fresh daripada malam, selesai kerja bisa ngantuk, eh tapi nggak semua siih... kondusif kalau yang ini. Tapi bisa jadi di pagi hari ide kita juga lebih fresh lhoo...

4. Sambil membaca-baca blog alias browsing tulisan, iiih... udah biasa kalii...tapi hal ini juga bisa membuka pikiran kita yang tadinya blank, bisa deh memunculkan ide lain yang lebih seru.

Naaah ini aja deh sharing sy pagi ini, semoga bisa bermanfaat khususnya bagi sesama pemula seperti saya yang sering demam 'writerblock'.

Selamat menulis untuk hari ini... 


Kartasura, pasca subuh
Mellshaliha Zone.

Selasa, 17 Juli 2012

Nggak Minat Lomba Nulis yang pake Bayar

Next... curcol nggak penting ...

      Dah tahu judulnya pastilah sudah bisa nebak, bahwa saya tidak berminat mengikuti lomba yang akhirnya nerbitin karyanya Indie, alias harus bayar sendiri. Pelit ya? Apa saja deh, yang jelas jika persyaratan lomba yang tertera itu kemudian pemenangnya harus bayar untuk nerbitin karyanya, maka saya langsung meninggalkan laman itu. Bukan sombong atau apa, sebenarnya belum tentu juga saya bakalan menang lombanya, tapi saat mendapati akhirnya pemenang harus membayar secara indie, saya sudah menyerah.
       Saya salut banget sama teman-teman yang selalu bersemangat mengikuti ragam lomba dengan ketentuan penerbitan indie dan harus bayar sendiri. Sepertinya tidak ada beban, padahal pembayarannya lumayan mahal, meski dengan potongan berapa ratus ribu. Hal itu berat sekali buat saya, saya lebih memilih mengirimkannya ke media daripada menjadikannya buku, apalagi harus keluar uang banyak. Belum nanti pemasarannya atau distribusinya yang ribet. Ya maklum saya tidak bisa berdagang dengan baik. Menjual buku secara OL itupun sangat berat, apalagi sudah keluar uang duluan. Haduh... ini pemikiran yang sangat buruk sepertinya. Karena saya memang sudah takut duluan. Saya bukan mikir lalu saya nanti bakalan punya buku antologi, yang berat dari sisi saya adalah penerbitannya yang harus bayar. Coba kalau yang menang nanti buku akan diterbitkan saja, niscaya saya akan tertarik :D Seperti antologi cerpen dan dua puisi saya, karena saya masuk nominasi maka akan dibukukan, meskipun penerbitnya indie, tapi panitia tetap tidak meminta pembayaran dari pemenangnya. 
       Hehhee... saya tahu, semua pasti punya pedoman maisng-masing dalam hal ini. Sah-sah saja sih, hanya mental dan kantong saya belum sanggup untuk menghadapi panitia lomba yang syaratnya itu. Kantong saya yang tidak tertarik :D hehhehe... 
       Jadi, bagaimana dengan teman-teman semua? apalagi yang ratu-ratu antologi, apakah kalian tidak keberatan dengan panitia yang ternyata menyuruh pemenang atau nominator membayar penerbitan? dan apa sih resepnya untuk bisa seberani itu?

Ini aja deh nge-blognya hari ini... semoga ada masukan dari teman-teman. Kok bisa saya berpikiran seperti ini yaa...?


^_^

Senin, 16 Juli 2012

[CERPEN] WE WILL NOT GO DOWN



                                                                                                 By: Mell Shaliha

“Andai aku ditakdirkan hidup 1000 tahun lagi, mungkin aku akan merasakan indahnya kehidupan di bumi ini. Mungkin angin akan selalu mengabarkan kebahagiaan bagi kami, keharuman tanah kami, sejuknya embun di dedaunan, ramai pedagang di pasar-pasar, tawa riang taman kanak-kanak. Mungkin juga aku akan bersujud di setiap masjid yang indah berdiri di negeri ini, atau hujan yang akan menumbuhkan bunga-bunga wangi di tanah ini, MUNGKIN… namun kami tidak akan turun jalan tanpa perang hari ini!”
            Namaku Hizby, mungkin aku harus bersyukur pada Tuhan atas kesempatan bernafas yang Dia berikan padaku sampai detik ini. Tapi ada banyak hal yang tidak diketahui orang-orang di luar jalur hidupku. Air mata, ketakutan, ancaman, darah dan kematian yang serasa sangat dekat denganku. Setiap detik, siapa sangka hidupku akan sampai hari ini. Aku telah kehilangan semuanya. Ayah, kakak dan saudara-saudaraku seiman, semua telah bersatu dengan bumi tanpa sisa karena hantaman bom sekutu biadab Israel yang mereka proklamirkan sejak tahun 1948, tahun itu bahkan saat orang tuaku belum dilahirkan mereka telah merampas hak-hak kami, rakyat Palestina. Tapi aku harus bersyukur karena Tuhan masih meninggalkan ummi dan seorang adik perempuan untukku.
            Siang itu Sharon, adikku yang masih berumur delapan tahun menungguku mengambil jatah makanan di camp. Aku memang tak mengijinkannya mengambil sendiri. Badannya kurus walau aku tak lebih gemuk darinya, tapi aku masih lebih kuat bertahan dari dorongan, desakan dan kekerasan yang biasa terjadi saat mengantri di camp. Aku tidak pernah tega melakukan itu. Setiap waktunya tiba aku hanya menyuruh ummi dan Sharon untuk diam di tempat. Bagaimana bisa ummi yang hanya bertangan satu mengambil jatahnya sendiri dan kadang juga harus kuat melawan desakan dari orang lain. Dan Sharon, bisa saja dia terinjak dan tidak jadi makan jatahnya.
            “Pesawaaat…Hizby, kembalilah putraku. Allohu Akbar…Hizby cepatlah kembali Nak!”
Teriakan ummi membuatku lebih panik dari biasanya. Pesawat tempur Israel kembali mengintai kami. Ada tiga pesawat tempur yang membuat kami berhamburan mencari tempat yang paling aman, walaupun kami tahu semua tempat di Gaza dalam bahaya. Tapi setidaknya ada yang kami lakukan untuk menyelamatkan jiwa kami dari  ancaman mati. Aku segera menuju tempat ummi dan Sharon. Secepat mungkin harus kuraih adik dan tangan ummi-ku menuju rumah tinggal kami yang sebenarnya sebagian hanya tinggal puing-puing hasil kerja bom Israel juga. Entahlah kali ini kami akan selamat atau tidak. Tetapi beberapa tentara suka relawan yang entah dari negara mana melarang kami kembali. Kali ini tidak ada tempat aman di Jalur Gaza dan kami tahu, tidak banyak yang bisa kami lakukan selain menuruti perintah mereka.
            “Sharon, cepatlah...kita harus segera pergi, Ummi…kita harus segera pergi…cepatlah.”
Tangan kanan dan kiriku telah menggenggam tangan kedua bagian hidupku. Aku berdo’a semoga Tuhan tak mengambil mereka dariku. Tuhan telah mengambil ayahku Husein Ibrahim yang syahid melawan tentara Israel. Ayahku ditangkap dan dibantai di depan kami pada saat kami berada diatas kapal Turki Mavi Marmala untuk menyelamatkan diri. Hingga membuat Sharon trauma jika melihat tentara Israel yang membabi buta. Sharon akan menangis  dan tak dapat bicara, ia selalu menggigil mendengar deru pesawat tempur di langit yang tak pernah henti. Begitu juga ummi yang harus merelakan tangan kanannya demi membela ayah saat itu. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Kakakku Idfar telah meninggal saat tergabung dalam operasi pengintaian buldoser Israel di Der Balah. Operasi itu dilakukan selama sepuluh jam yang berakhir dengan kemuliaanya mencapai syahadah ketika ia bergabung dalam pasukan intifadhah Al Aqsha, sebelum pembantaian di Mavi Marmala.
            “Hizby, pergilah membawa Sharon sejauh mungkin, jika perlu larilah hingga Yafa  atau Haika, tinggalkan ummi di sini, putraku, pergilah!” wajah ummi pucat, sepertinya tak punya tenaga untuk menuju truk yang biasanya membawa kami pergi menyelamatkan diri.
“Tidak Ummi, saya tidak bisa pergi tanpa ummi, biarlah saya mati jika harus meninggalkan ummi di sini. Hidup kita di sini hanya tinggal menunggu waktu, dan kami akan bersama ummi walau harus mati sekarang.” Sambil mencoba memapahnya, aku meyakinkan ummi untuk tidak menyerah. Sungguh aku tak akan pernah meninggalkannya.
“Cepat sedikit kalian sebelum bom Israel dijatuhkan di sini, ayo cepat…!” teriakan tentara penyelamat kami membuat Sharon gugup dan menangis.
“Tenang adikku, berdo’alah…kita akan selamat dan pegang tanganku kuat-kuat.” Sharon seperti biasa tak bisa bicara. Isaknya semakin menjadi, sedang ummi sudah tidak kuat lagi berjalan meski hanya seratus meter sampai di truk itu.
            Kami mencoba lebih cepat, beruntung seorang tentara bersedia membantuku    menggendong Sharon. Tanganku lebih leluasa memapah ummi untuk berjalan lebih cepat sebelum truk meninggalkan kami.
“Blaarrr...,” satu bom dijatuhkan sekitar tiga ratus  meter dari tempat kami berdiri. Beberapa orang yang masih berada di sekitar camp terkena serangan dadakan itu. Aku sempat melihat Wail, bocah berusia lima tahun masih menunggu Abunya mengambil makanan. Sebagian dari mereka tetap mementingkan makanan untuk anak-anaknya baru menuju truk. Entah bagaimana nasib Wail, semoga Tuhan memberinya perlindungan. Ummi sudah berhasil naik ke dalam truk bersama Sharon dan orang-orang yang kami kenal. Aku mendengar kami tidak akan dibawa ke Al Quds karena di ibu kota, Israel lebih leluasa bergerak dengan kebiasaan intervensi  militernya yang menyerah menjelang tengah malam.
            Mereka juga berupaya menguasai satu-satunya masjid milik ummat Islam setelah berhasil meratakan sekitar 1200 masjid lain di palestina yaitu Masjid Al-Aqsha. Dengan hilangnya Masjid Al-Aqsha dari tangan kaum muslimin, maka habislah riwayat kaum muslimin di Al-Quds. Untuk itu, siang dan malam Israel terus berusaha untuk mengambil alih kepemilikan Al-Aqsha dari tangan kaum muslimin. Setapak demi setapak mereka mengambil alih Masjid al-Aqsha. Seperti itulah mereka melakukan aksinya demi mimpi besar mereka mendirikan Kuil Yahudi yang hingga kini belum terwujud. Dimulai dengan penggalian di bawah masjid, pembangunan disamping masjid serta penghancuran sejumlah tempat suci ummat Islam di sekitar A-Aqsha, belum cukup untuk membuktikan bahwa di sana terdapat bekas bangunan Haikal Sulaiman yang mereka klaim. Namun mereka tak kenal putus asa, terus melakukan pembangunan dan perubahan demografi al-Aqsha dalam rangka mempersiapkan pendirian sinagog terbesar Israel melalui sejumlah rencana jahat dan mega proyek Al-Quds. Hal itu tentu saja mereka lakukan dengan cara yang sangat kotor dan keji. Aku yakin tidak ada pengampunan lagi bagi mereka -Israel!
            Dua pesawat tempur Israel sepertinya tak berhenti mengintai kami dengan bebas di udara. Beberapa kali serangan balasan dilakukan dari camp militer siaga. Aku seperti terbiasa dengan dentum senjata mematikan itu, jantungku sudah terlatih sejak kecil dan aku  memang harus lebih berani dari Ayah dan Kakakku karena aku harus bisa melindungi ummi serta Sharon. Oh Tuhan, aku lupa membawakan minum untuk Sharon. Saat seperti ini dia sangat membutuhkan air putih untuk lebih menenangkannya. Hampir saja aku masuk ke dalam truk tanpa memikirkan keadaan Sharon.
            “Maaf Sir, bolehkah saya meminta air putih untuk adikku, dia dalam ketakutan yang sangat hingga tak bisa bicara. Saya mohon, dia membutuhkan air untuk minum.”
“Maaf, truk ini akan segera berangkat, kalau tidak mereka akan membunuh kita semua dengan sekali hantam. Anda harus tahu. Kita harus menyelamatkan semuanya sekarang juga. Cepatlah masuk!”
“Sebentar saja pak, adik saya akan mati sesak nafas dalam keadaan trauma, pak…saya mohon, dua menit saja.”
“Demi Tuhan anak muda, tidak bisa, maaf anda harus naik atau kami akan pergi tanpa anda.” Percuma, bersikeras tetap tidak akan membuat mereka menungguku. Tapi di dalam truk yang pengap, Sharon akan sangat menderita.
“Maaf pak tapi saya harus mengambil air putih untuknya.” Aku tak peduli lagi pada tentara penolong kami itu. Dia berteriak lebih keras padaku. Lariku menuju camp banyak terhambat orang-orang yang berhamburan menuju truk-truk lain. Aku berhasil mencapai camp dengan cepat dan mengambil air putih yang sudah ditinggalkan  pengurusnya. Segera kuambil dengan sisa gelas yang tergeletak di sekitar camp.
            Namun aku lupa, bahwa disini tak ada aturan saling menunggu, apalagi hanya untuk meyelamatkan nyawa satu orang, tidak akan pernah mereka mengorbankan banyak nyawa. Aku berusaha lari secepat mungkin sebelum bom lain jatuh tepat di tanah yang sedang aku pijak atau mungkin di truk-truk yang mengurus pengungsian itu. Yaa…Tuhan, aku malah menyandung seorang nenek yang tergopoh-gopoh mengejar truk. Kemudian aku berbalik lagi, percuma jika aku selamatkan satu nyawa keluargaku jika aku harus membunuh nenek yang tak berdaya itu. aku mencoba memapahnya walaupun ia hampir menyerah.
            Seandainya aku punya kekuatan lebih, akan ku gendong si nenek dan kubawa lari secepatnya. Doorr….! Suara senapan, aku tak sadar hanya ingin berlari dan berlari, namun rintihan lemah si nenek menyadarkanku. Aku melihatnya, kakinya melemah, darah dimana-mana dan aku semakin sadar bahwa kaki kanannya yang tertembak entah dari arah mana. Kemana aku harus berlari? Truk itu…aku memaksa Si nenek untuk bertahan, sambil kuseret berjalan, namun truk yang membawa ummi dan Sharon telah berlalu. Aku melihat lambaian tangan ummi sambil menjerit memohon pada tentara untuk menungguku, namun semua sia-sia. Aku menangis, hanya itu.
            “Tolong pak, selamatkan nenek ini pak, dia tertembak, saya tidak kuat lagi.” Kulihat ada tiga tentara suka relawan asing langsung mendengar teriakanku. Mereka menggotong Si nenek dan aku mengikuti kemana mereka akan membawa kami. Ada satu truk lagi, artinya masih ada kesempatan untuk selamat. Jika mereka juga membawa kami ke Akka, satu-satunya daerah yang masih terbilang aman di Palestina tentu aku bisa bertemu kembali dengan ummi dan Sharon di Masjid Ahmad Pasha.
“Maaf Pak, apakah mobil ini akan menuju Akka  seperti yang lain?” tanyaku penuh harap.
“Maaf, tidak. Kami semua menuju Al Quds. Ini mobil tentara anak muda, bukan yang mengurus pengungsian. Truk-truk itu sudah pergi beberapa menit yang lalu.” Pupus sudah harapanku. Kami berpisah, aku, ummi dan Sharon. Ada sesal yang seakan menyumbat seluruh kelenjar, semua bagian tubuhku jadi tak mampu bekerja. Hanya kelenjar air mata yang dengan mudah melaksanakan tugasnya. Selama dua puluh tahun sakit hati ini terulang kembali, seperti saat kehilangan Ayah dan Idfar. Sekarang aku harus melepas kedua bagian hidupku dalam keadaan yang sedang gawat di negeri para Nabi ini.
            Aku ingat pesan Ummi dulu disaat-saat kami menikmati detik yang aman dan kami bisa tidur nyenyak, pesannya… ‘Anakku Hizby, menangislah jika kau ingin menangis sebagai ummat Rosululloh, namun jadilah pemuda yang kuat seperti-nya, kuat seperti ayah dan kakakmu Idfar, karena hanya dengan kekuatan dan keberanian kamu bisa melawan semua ini, kamu bisa hidup dan bertahan disini. Jangan pernah lari dari keadaan ini kecuali menyelamatkan diri, namun alangkah bijaknya jika kau menyayangi negeri ini dan mempertahankannya walau dengan darahmu sekalipun. Ingat, kita hanya akan pergi atas panggilan’Nya. Kau paham anakku? Lihatlah, para tentara sukarelawan itu, mereka rela meninggalkan keluarga dan negaranya untuk membantu kita mempertahankan Palestina. Mereka rela meninggalkan keluarganya dan mati untuk Palestina, karena mereka mencintai kita dan negeri ini. Maka jangan sekali-kali kau meninggalkan angkara murka ini jika matimu akan selamat sayang.’
            Debu dan pasir Al Quds mengiringi angin senja. Mataku kembali mengeluarkan air lelah yang sangat dalam sujud panjangku di Masjidil Aqsha. Aku merindukan Ummi dan Sharon, bagaimana keadaan mereka di Akka? Apakah mereka baik-baik saja yaa Robb? Hanya kepada’Mu aku memohon perlindungan atas mereka. Selamatkan mereka dari kedzaliman Israel, selamatkan Palestina kami yaa…Robbi…!
Lima hari sudah aku lalui di Al Quds, kami hampir tak pernah bisa tidur melewati malam dan siang. Akhirnya aku putuskan untuk mengajukan diri bergabung dengan pasukan militer sukarelawan untuk berperang. Aku harus menjalankan pesan ummi, untuk mempertahankan bumi kami.  ***
Subuh di Al Quds, masih dengan ‘simfoni’ peperangan yang mencekam. Kami, para militer mendengarkan kalimat demi kalimat pengobar semangat kami untuk syahadah di jalan’Nya. “Wahai kaum muslimin!! Hari masih pagi saudaraku, perang ini baru saja dimulai…bangunlah, hapus air mata ibunda kita, anak-anak kita, para orang tua kita, saudara-saudara kita dan jangan menitikkan air mata untuk kekalahan. Yahudi menginginkan pembagian Masjid al-Aqsha sebagaimana yang sudah mereka dapatkan atas Masjid Ibrahimi di Hebron. Yang mereka inginkan adalah yahudisasi Al-Aqsha bukan sekedar menghancurkan Al-Aqsha!! Mari kita bangkit untuk kemenangan Islam!”
            Palestina, andai aku bisa merasakan ‘kehidupan’ diatasmu, saat ini aku merasakan hidup yang paling indah. Di subuh ini aku bangun dari tidurku, aku hidup dari matiku dan tunggulah sujudku dalam balutan kasih’Nya di subuh-subuh yang akan datang.
Allohu Akbar… Lapor kapten, baru saja kami mendapat laporan dari tim militer di Akka, Israel baru saja menjatuhkan bom di Masjid Ahmad Pasha saat sholat jamaah subuh dilakukan.”
Farad, teman seperjuangan yang aku temukan di Al Quds melemparkan ‘bom’ yang sama kurasakan menghancurkan jiwaku yang masih bersujud. Ummi, aku tidak akan menangis lagi untuk Palestina.  Allohu Akbar!!

                                                                                                 ***

MENULIS FIKSI sambil Rekreasi


          Sulit, mungkin kata itu pertama kali yang kebanyakan orang bilang tentang menulis. Bahkan sy Pernah mendengar, menulis itu sesuatu yang dianggap kurang kerjaan, apalagi seorang cerpenis atau novelis. mungkin kebanyakan orang berfikir bahwa menulis fiksi itu mudah, hanya tinggal melamun, berimajinasi, selesai. Ups tapi tidak, menurut pengalaman saya selama 'belajar menulis', membuat tulisan fiksi itu sangat rumit. Ada kalanya jika imajinasi bisa diajak kompromi, satu cerita pasti jadi. Tapi sering juga kita tersendat oleh mood atau bahan yang akan kita bicarakan. Misal mengenai setting/tempat sebuah cerita kita kadang tdk cukup hanya membayangkan, melainkan harus benar-benar mengenali seperti apa tempat yg kita jadikan setting dalam cerita kita. Semakin detail lokasi, pembaca tentu akan semakin jelas dan membayangkan 'mereka' sedang berada ditmpat yang kita ceritakan.

Me and My first novel - Xie Xie Ni De Ai`
        Cerita fiksi menurut saya, bukan sekedar bualan/khayalan, namun juga membutuhkan riset. Selain setting, bahasa, budaya dan perwatakan tokoh dalam cerita fiksi juga memerlukan waktu untuk mempelajarinya agar cerita kita tidak sekedar bualan, melainkan 'punya' sesuatu yang perlu diketahui pembaca. Membaca menurut saya adalah membangun persepsi awal. Artinya bacaan biasanya akan mempengaruhi pembaca, entah sekedar pandangan/penilaian atau bisa jadi mereka mengambil 'sesuatu' dari apa yg sudah kita tulis, maka dari itu penting sekali menuliskan hal-hal yg bermanfaat seperti pengetahuan atau apa saja yg kita siratkan lewat cerita. So, tulisan kita akan sedikit lebih bermanfaat daripada sekedar bacaan penghibur.

        Seperti novel yang berhasil saya tulis di Hongkong tahun 2007 lalu, banyak hal yang saya tuangkan dalam kisah fiktif bertema perjuangan, persahabatan dan perncintaan itu.
Saya tidak hanya hendak menuliskan cerita cinta didalamnya, namun beberapa kisah sejati dari pengalaman saya dan kawan-kawan buruh migran yang berjuang mati-matian mempertahankan ibadah di negeri tirai bambu juga melengkapi fakta yg terjadi disana.
Penjabaran setting dalam lingkungan kampus HONGKONG Polytehnic University, pantai-pantai di Hong kong, beberapa masjid di Wanchai, beberapa Gedung di Taiwan, lokasi di Harajuku Jepang dan beberaba bahasa Asing yang berhasil saya pelajari juga saya harapkan akan  menambah wacana pembaca di manapun. Itu merupakan bukti bahwa menulis fiksi juga membutuhkan banyak belajar, tidak seperti merebus mie instan.

     Maka, besar harapan saya, novel perdana saya akan bermanfaat dan menambah wawasan atau paling tidak mampu menghibur seluruh pecinta novel di Indonesia (Nasional) maupun semua WNI di Luar negeri... Amin...


Selamat Berekreasi bersama Novel yang ditulis oleh seorang mantan 'Pembantu Rumah Tangga' ini dan beri kesempatan kami berekspresi...!!