MBAH DAR
Oleh : Mell Shaliha
Terik
sudah sempurna menggosongkan semua bagian tubuhnya yang sudah ringkih. Kecuali
bagian yang tertutup kemeja coklat kumal dan celana hitam yang sudah sobek di
bagian pantatnya. Mbah Dar, begitu ia sering menyebut dirinya sendiri di
hadapan orang yang kadang mau mendengarkan cerita pahitnya. Usianya sudah
mencapai delapan puluh tujuh tahun, lebih lama dari umur kemerdekaan negara
ini.
Sudah
beberapa tahun ia hidup di jalanan. Rumahnya yang pas di pinggir jalan digusur
tanpa ampun dengan alasan pelebaran jalan tanpa imbalan sepeserpun. Mbah Dar
adalah seorang mantan pejuang Veteran. Tapi ia tidak pernah mendapatkan
kesejahteraan sedikitpun dari negara. Justru ketidakpedulian negara membuatnya
nekat sampai menjadi seorang pengemis. Dulu sempat ia menjadi kuli pasar,
sayang tubuh rentanya sudah tidak sanggup lagi untuk memikul beban goni
bermuatan lebih dari lima belas kilo setiap hari.
Istrinya
pergi meninggalkannya karena ia tak mampu menjamin kebahagiaan secara materi.
“Hidup itu butuh kesejahteraan, kalau hal itu tidak bisa kau penuhi lebih baik
aku mencari suami yang bisa membahagiakanku.” Ucap istrinya lalu pergi menyeret
anak laki-laki semata wayangnya yang telah menginjak usia delapan belas tahun.
Mbah
Dar tidak mungkin menghentikan bahkan mengejar mereka, karena ia tahu tidak ada
lagi janji yang bisa ia tepati. Tidak pula ada harapan untuk hidup sejahtera di
usianya yang sudah tidak muda lagi. Untuk dirinya sendiri saja kesulitan
apalagi harus berjanji membahagiakan putra dan istrinya. Meski jauh di lubuk
hatinya yang paling dalam, ia tetap berharap sigaran nyawanya itu tidak meninggalkannya.
Delapan
tahun silam, putra yang meninggalkannya datang di gubuk reot pinggir pasar. Ia
mencium tangannya takzim dan berpamitan. Anak itu sudah beranjak dewasa,
mungkin orang tua barunya bisa menjadikannya seorang pemuda tampan yang
berpendidikan. Tak seperti dirinya. Ia sangat bahagia, namun hal besar yang
menjadikannya memendam amarah adalah ketika putranya itu meminta ijin.
“Pak,
saya akan melanjutkan sekolah saya di kota. Saya ingin menjadi tentara. Seperti
bapak dulu.”
“Apa? Tidak! Tidak usah kau bersusah
menjadi tentara, kau tidak akan pernah sejahtera. Apa kau mau ditinggalkan
istrimu kelak?” Jawabnya tajam.
“Jadilah pejabat saja biar hidupmu
sejahtera, di manapun kamu berada, kau tidak akan kekurangan uang jika kau
menjadi pejabat negara.”
“Maaf Pak, tapi…”
“Tidak usah kau minta ijin padaku
jika kau nekat ingin menjadi tentara. Anggap saja aku sudah mati. Aku akan
menunggumu di sini dan melihatmu datang dengan mobil mewah dan jas berdasi
merah.” Lalu anak laki-lakinya pergi
dengan mata berkaca. Melepas tangan legam bapaknya yang sepertinya tak rela ia
tinggalkan.
***
Mbah
Dar berdiri di depan toko mainan sambil membuka kedua tangannya. Lambaian
tangan dari penjaga toko pun segera membuatnya meneruskan perjalanan memutari
pasar. Sesampai di depan kios tukang sol sepatu ia duduk di tangga pasar. Ia
tampak kelelahan. Ia sama sekali tak menadahkan tangan, ada ketakutan kecil dari
hatinya. Ketakutan akan lambaian dan usiran mereka.
Seorang
ibu paruh baya pemilik kios sol sepatu itu mendekatinya dan mengulurkan
selembar uang dua ribu rupiah. Mbah Dar agak tercengang dengan perlakuan itu,
tiba-tiba mendongak, tak langsung menerima uang itu.
“Mbah mau makan?” tawar ibu-ibu itu.
“Tidak, terima kasih, sudah makan
tadi.”
“Minum ya Mbah?” tawarnya lagi. Lalu
Mbah Dar mengangguk. Segelas teh panas menghangatkan perutnya. Ia berterima
kasih berulang-ulang.
“Mbah
tinggal di mana?” tanya Ibu itu lagi. Dijawabnya dengan menunjukkan pojok
pasar, bekas kios yang ditutup dengan
beberapa bambu dan kardus bekas semen.
Ibu itu mengangguk.
“Apa Mbah ga punya keluarga?”
“Tidak. Dulu punya, tapi mereka sudah
hidup bahagia dengan jalan mereka masing-masing.”
Ibu itu mengangguk lagi.
“Sekarang saya menunggu anak
laki-laki saya datang dengan mobil mewah dan berjas serta berdasi merah. Apa
kalian akan menganggapku gila?”
“Tidak Mbah. Semua orang berhak
mempunyai keinginan.” Jawab salah satu pegawai di kios itu.
“Tidak semua. Tidak untuk seorang
pejuang Veteran tua seperti saya.” Ibu dan pegawai itu melotot kaget. Akhirnya
pecah juga cerita masa lalunya. Bahwa negara tak pernah peduli padanya, bahkan
negara tidak tahu, presidennya tidak pernah mengerti arti dari perjuangan
hidupnya sebagai seorang Veteran.
“Maaf
mas mau servis sepatu.” Kata seorang pelanggan memotong cerita Mbah Dar. Mbah
Dar melihat laki-laki gagah yang berpakaian tentara itu dengan wajah yang
menyiratkan kebencian, meski ia tidak jelas siapa orang yang ada di hadapannya
itu.
“Baik, Pak, tapi mohon ditunggu
sebentar ya, soalnya antri yang servis hari ini.” Kata pegawai kios.
“Iya tidak apa-apa.” Lalu laki-laki
yang berseragam tentara itu duduk tanpa melihat ke arah Mbah Dar.
“Oh ya Mbah, ini saya beri kaos untuk
ganti. Kebetulan suami saya punya banyak.” Ibu pemilik kios menyodorkan kaos
putih berlengan biru gambar presiden. Dibukanya perlahan sambil mengucapkan
terima kasih. Namun ia meminjam korek api pada karyawan dan membakar kaos itu
di depan mereka.
“Maaf
Bu, saya tidak akan mengagungkan orang ini dengan memakai kaos bergambar
dirinya. Bagi saya dia itu bukan siapa-siapa. Dan saya tidak butuh pakaian
ini.” Mendengar jawaban itu si tentara menoleh. Ia memperhatikan wajah Mbah Dar
dengan seksama.
“Bapak?” Panggil tentara muda itu
keras-keras. Mbah Dar menoleh ke arahnya dan mengigit rahangnya kuat-kuat.
Tentara itu meraih tangannya dan langsung dikibaskan.
“Bu terima kasih tehnya. Saya pamit.”
Kata Mbah Dar dengan kaki pincang meninggalkan kios itu. Tentara yang ternyata
putra Mbah Dar menunduk penuh penyesalan dan mengikutinya dari belakang.
“Anakku sudah jadi pejabat negara dan aku
bangga. Dia datang dengan mobil mewah, berjas dan berdasi merah. Anakku memang
pintar, anakku memang hebat.” Gumamnya menyisir pinggiran pasar dengan
susah payah.
***