Selasa, 11 September 2012

My Second Novel Coming Soon - CRYING WINTER-


"Tepat pada musim dingin di akhir tahun 2012, JR menginstruksikan penghancuran terhadap wilayah  Asia yang di mulai  dari Hong Kong. Ia mengharuskan pertumpahan darah demi menguasai negara-negara incarannya. Dan James adalah satu-satunya orang kepercayaan JR yang bertanggung jawab melaksanakan penghancuran itu dengan bio terorisme."

Penasaran?
Tunggu novel ini beredardi akhir Bulan Oktober 2012 di seluruh toko buku nasional atau dapetin tanda tangan penulisnya dengan memesan langsung buku ini via :
# mellschips_01@yahoo.com  atau facebook : http://www.facebook.com/LadyLawliet

[cerpen jadul] BERAKHIR DI JANUARI



            Hai temans, selamat datang, lagi ke blog Mells. Berikut aku share Cerpenku dengan judul "Berakhir di Januari" yang pernah terbit di Tabloid Apa Kabar Indonesia tahun 2010 lalu. Cerpen ini aku buat saat masih belajar nulis belum lama. Meski nama penaku bukan Mell Shaliha, tapi ini bener-bener hasil karyaku yang masih unyu banget. Maaf yaa kalau rada Alay..., selamat membaca dan boleh banget di kritisi :)

BERAKHIR DIJANUARI
By: Lady - L 

“Uhuk-uhuuk..”, dadaku sesak tiba-tiba, tersedak. Menatap teman kostku tajam, hingga mimiknya tak enak.
“Kamu lihat Dani di mana Mbak?” tanyaku memburu. Mbak Win, temanku itu menjawab keras-keras, “di Mall, denger gak?” Aku menghindari mulutnya yang bersuara stereo dengan sigap. “Oh.” Responku singkat.
“Oh…? Oh gimana si? Dia jalan sama cewek Yur, kamu gak cemburu apa?” desaknya. “Ah, mbak salah lihat kali, dia bilang mau keluar kota kok.” Sambungku.
“Waah, ya sudah kalau kamu ‘ngeyel’, telpon aja dia, tanya di mana sekarang.” Mbak Win ngotot.
“Oh, ya nantilah, gak usah buru-buru.”
“Weh, dia kan calon suamimu Yur, sadar gak sih. Katamu dia alim, gak suka main-main sama cewek, setia…katamu, dia satu-satunya orang yang kamu percaya. Gimana si kamu Yur, aku seriuuuus niiih!” Mbak Win memaksaku lagi. Tapi aku tak peduli, aku percaya saja dengan kata-kata Dani. Toh Mbak Win belum juga kenal sama Dani, jadi wajar saja dia sewot, takut kalau aku di bohongi. Padahal aku sangat percaya, Dani tidak akan macam-macam. Apalagi dengan cewek, itu si penilaianku selama ini. Jadi keputusanku adalah tidak menelponnya. “Yar ..Yur…Sayur kali…!” Ledekku menepis kata-katanya.
            Dani itu calon suamiku katanya- , hubungan kami sudah lama sebagai teman. Dari SMP sampai SMU, lalu berpisah setelah lulus. Dia kuliah, aku kerja. Aku yang pertama suka sama Dani. Bawaannya yang sederhana dan tegas, terkesan cool. Berbeda dengan teman-teman sekolah cowokku yang lain. Aku baru melihatnya saat SMU, dia aktif di organisasi sekolah dan Tae Kwon Do. Dia…tidak pernah pacaran. Setelah aku renungkan, justru pilihanku tepat padanya, ya- aku mulai menyukainya. Sebagai teman yang lumayan akrab, aku berani bilang kalau aku suka. Mungkin terlalu berani sebagai cewek, tapi…kalau tidak begitu, dia mana tau perasaanku. Tak lama kemudian, mungkin dia kasihan melihatku yang sok sedih jika sedang memandangnya dari ujung kelas. Akhirnya dia menerimaku. Sejak memutuskan jalan bareng, kami malah jarang ngobrol, malu. Entah kenapa. Paling berpapasan sebentar, bertanya hal-hal yang tidak penting, kemudian berlalu.
            Setelah bekerja dua tahun di sebuah butik batik, hubungan kami menjadi lebih mudah, kami masing-masing memiliki telepon genggam. Mengirim pesan yang tidak penting, atau menanyakan kabarnya. Kami malah hampir tak pernah bertemu lantaran kesibukan masing-masing. Tapi tak apalah, justru itu baik bagi kami, mengurangi dosa atau apalah, kami memang belum punya rencana menikah. Bukan –tepatnya dia, kalau aku sudah siap menikah semenjak bekerja. Mungkin benar kata orang, bahwa wanita akan lebih matang pemikirannya dibanding laki-laki meskipun usia masih muda. Aku juga pernah suatu saat mengajak Dani ngobrol soal pernikahan, dia toh sudah berhasil sekarang. Kuliah sudah kelar, sudah bekerja mapan, tapi untuk menikah katanya tunggu dulu. Paling tidak dua atau tiga tahun lagi.
            Jujur saja aku tak enak dengan penilaian orang. Meski kami jarang kelihatan bersama, tapi tetanggaku di rumah dan teman-temanku tahu kalau Dani calon suamiku. Kadang juga aku merasa hubungan seperti ini tidak ada ujung pangkalnya. Aku hanya seorang wanita, apa pantas jika aku memaksanya untuk menikahiku sedang dia sendiri merasa tidak sanggup? Bapakku juga pernah menyarankan untuk putus saja ketimbang hubungan menjadi tidak berujung.
“Kamu sama juga dengan pacaran Yur kalau seperti itu. Meski jarang ketemu, tapi kalian punya ikatan janji. Tapi janji di bibir saja! buktinya dia toh tidak juga sanggup menikah!”  kalimat panjang bapak beberapa bulan lalu masih kuingat. Bahkan aku sempat melakukannya. Mengajak Dani berpisah saja jika terlalu lama.
“Apa tidak lebih baik kita jalan sendiri-sendiri saja Dan, biar kita masing-masing lebih konsentrasi ke pekerjaan? Kamu juga belum siap menikah kan?”
            Tak pernah ada jawaban setuju untuk sebuah perpisahan. Aku rasa hubungan semacam ini tidak ada untungnya –bukan, aku bukan mencari keuntungan, maksudku manfaat. Hal ini hanya buang-buang waktu. Pikiranku terus berputar, seiring sentilan kata-kata Bapak atau terkadang Ibu yang bergantian mengingatkan. Tapi sungguh aku belum bisa mengindahkan mereka, lebih-lebih aku semakin tidak tahu harus bagaimana. Perasaanku? Entahlah, aku tak bisa bilang mencintai tapi juga tidak membenci. Datar-datar saja, kalau cemburu terkadang ada. Melihat sosoknya.. sangat membuatku tak tega untuk meninggalkan begitu saja. Tapi aku juga tidak mengasihani dia –atau mungkin simpati?
            Pusing. Aku tak bisa melihatnya sendirian, rasa sosialitasku muncul ketika bertemu dengan sosoknya yang bercerita tentang masa lalunya. Tentang orang tuanya yang bercerai dan tidak menerimanya sebagai anak. Hatiku merasa teriris ketika mendengarnya berbicara, “mungkin aku ini anak haram, orang tuaku tak sudi merawatku sejak bayi.” Memang, Dani hanya tinggal bersama nenek buyutnya. Hanya ada dua orang  yang tinggal di rumah joglo tua itu, dia dan neneknya. Ibunya menikah dan punya seorang putra lagi, sedang ayahnya konon juga mempunyai keluarga sendiri. Dani benar-benar sebatangkara, itulah yang membuatku merasa harus bertahan. Aku memang sok, tapi aku berusaha menyayanginya hingga dia bisa merasakan arti sebuah keluarga. Juga dengan Bapak-Ibuku, mereka menganggap Dani seperti anak sendiri. Hanya saja, perubahan itu membuat aku dan keluargaku sekarang merasa tidak harus mendampinginya lagi. Kemapanan, kemandirian dan kesibukannya.
            Keluargaku bukan keluarga kaya, tapi pendidikan agama yang diberikan Bapak- Ibuku cukup kuat. Meski aku belum bisa mengindahkan teguran mereka, bukan berarti aku tak berpikir soal itu. Aku sedang dilema. Setelah lulus kuliah dengan susah payah, Dani mendapat pekerjaan yang jujur saja –sangat bertentangan dengan nuraniku. Aku semakin ragu untuk meneruskan hubunganku dengannya hingga pernikahan. Ilmu agama yang pernah aku pelajari dan aku jadikan prinsip selama ini yang semakin menunjukkan perbedaan jalan yang kami tempuh. Dulu, semasa masih susah, Dani seorang yang taat beribadah, dia juga mengajariku tentang puasa sunnah dan tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Tapi sejak bisnisnya sukses, di pertemuanku dengannya belum lama ini, aku perhatikan dia melalaikan sholatnya. Bukan hanya menunda, bahkan tidak melaksanakan. Aku kecewa dengan perubahannya itu, sayang dia tidak sadar.
            Dani berubah, apakah hatinya juga demikian? Aku sempat berfikir namun tak berani berprasangka yang terlalu. Aku selalu mencoba mempercayainya hingga detik ini, bulan ini –Januari. Dua hari lagi adalah ulang tahunku yang ke-24. Tapi biasa saja, tidak pernah ada yang istimewa, aku justru malah lebih banyak merenung seiring berkurangnya jatah usiaku. Berfikir hal-hal yang mungkin akan terjadi setelah Tuhan memberiku tambahan waktu lagi. Yang tidak biasa di hari jadiku tahun ini hanya satu, Dani –dia sama sekali tidak menelponku, bahkan mengirim do’a via pesan singkat seperti dulu, hingga lewat hari terakhir bulan Januari.
            Ada kekosongan yang aku rasakan tanpa satu katapun do’a darinya. Kini, perubahan itu semakin terlihat. Sepertinya Tuhan benar-benar mengingatkanku untuk membuka mataku yang ‘buta’ oleh kepercayaan yang tidak jelas. Oleh satu kata yang jujur saja aku membencinya –pacaran. Tidak ada janji yang ditepati, tidak ada kata yang bisa dipegang seperti tali, justru busur-busur yang membuat hatiku kian berlubang. Aku sudah tahu jawaban dari pertanyaanku yang tak terucap, kemana dan dimanakah dia?
            Tengah malam, 31 January 2008. Perempuan yang mengaku bernama Ana  menelponku. Aku tidak pernah mengenalnya, namun jauh-jauh hari aku tahu nama itu sering disebut sebagian orang yang mengenalku, juga Dani. Perempuan itu patner kerjanya disebuah perusahaan multilevel marketing.
“Apa mau kamu sebenarnya? Mulai sekarang, jangan pernah mengganggu Dani lagi.” Kalimatnya yang lugas itu mengagetkanku, “jadi apa maksud anda dengan menelpon saya tengah malam begini, mbak?” Jawabanku kaget.
“Tinggalkan dia. Dani adalah milik saya, dia tersiksa berhubungan dengan anda. Sudah dua tahun terakhir kami sangat dekat, dia banyak mengeluh tentang hubungannya dengan anda. Putuskan saja dia segera!” setelah kalimatnya yang panjang dan belum sempat aku jawab, telepon itu ditutupnya.
            Hampir tidak ada air mata yang jatuh ketika itu. Aku hanya tersudut oleh kata-kata yang tidak aku mengerti. Setelah pembicaraan terakhir dengan Dani malam itu, aku putuskan meninggalkannya. Siapa yang mau menjadi pilihan? Aku kembali pada niatku, kebahagiaan Dani. Ya –mungkin dengan orang lain Dani bisa lebih bahagia, dibanding aku yang tidak bisa mendampinginya setiap saat. Seseorang yang kita butuhkan tentu saja yang bisa membuat kita bahagia bukan? Dan aku paham, waktu bukanlah jawaban, lama atau singkatnya hubungan itu –bukanlah jaminan.
            Aku? Kebahagiaanku? Cukup sudah pemberian Tuhan selama ini, keluarga. Orang tua dan sahabat, aku masih memiliki banyak pintu kebahagiaan untuk bangkit. Kehilangan Dani bagiku hanya sebuah kebahagiaan kecil yang tak bisa kurengkuh dan petunjuk yang semakin jelas. Cinta itu mungkin belum saatnya atau tidak tepat?
         
         Dani, suatu saat kau pasti merasakan, apabila hatimu sakit seperti berlubang dan tertiup angin, saat itu kau akan mengerti akhir dari kisah ini.

***
[The Last memory, 11 Nov 2009] terbit di Tabloid Apa Kabar Indonesia 2010.
           





  

Senin, 10 September 2012

Masa Putih Abu-Abu

Hai..hai... jumpa lagi di blog sederhana Mells, Bangunkan Penamu!

       Kali ini ngebahas soal  masa SMA. Karena sekolahku cuma sampai SMA hehe...yach masa sekolah memang masa paling indah meski ketika itu masa-masa paling sulit buatku. Banyak hal yang berkesan saat di SMA. Sebenarnya aku melanjutkan study-ku di SMK. Tepatnya di SMK N4 Jogjakarta. Aku mengambil jurusan Pariwisata-bistud Akomodasi Perhotelan.  Di sekolahku mayoritas cewek, hanya beberapa gelintir cowok, apalagi di kelasku, cuma empat orang. But, smua asyik dan mengesankan.
       Saat di sekolah dari SMP sampai SMK aku mempunyai impian menjadi pengurus OSIS, tapi impian hanya impian, apesnya aku nggak pernah terpilih menjadi pengurus OSIS. Mungkin aku kurang dalam segala hal, jadi aku mengalihkan konsentrasiku pada mimpi yang lain. Seperti main basket atau saat di SMK aku memilih extracuruculer debate. Hal itu yang sampai saat ini masih terkenang.
       Pertama kali aku ikut lomba debat, adalah pada kompetisi terbesar se Jateng DIY. pas itu aku sama sekali belum mempunyai pengalaman. melihat lawan pertama yaitu SMU Tarakanita Magelang, wuuuiiish  rasanya pingin kabur duluan. pasalnya melihat wajah n cover mereka yg serba chinese udah bikin mentalku down. Aku sama sekali nggak konsen pada materi dan tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun.
Hal itu membuatku sangat menyesal dan berusaha mengembangkan diri, hasilnya lumayan.
       Setelah lulus dari  SMK aku tidak pernah lagi berfikir memasuki dunia debat lagi. Kecuali hanya sebuah mimpi. Mimpi ketika aku bisa kuliah, mengambil fakultas yang merupakan impianku juga, yaitu pendidikan bahasa Inggris. Namun hal itu tidak pernah terwujud sampai sekarang. Bahkan aku tidak berani lagi bermimpi untuk itu. Dalam benakku, ilmu debatku tidak lagi berguna dan aku harus rela menguburnya dalam-dalam. 
        Ternyata aku salah besar. Setelah sekian tahun aku tidak pernah menyentuh dunia debat, seorang kawan meminta bantuanku untuk menjadi pelatih debat di sebuah SMK di  GK. Dengan semangat aku membantu mereka via online karena waktu itu aku masih di HKG. Setiap tahun berturut-turut mereka memintaku melatih anak didik baru. sampai tahun kemarin, aku bisa langsung terjun ke SMK untuk mendampingi mereka pada saat  kompetisi. Waah senang, mengenang masa-masa menegangkan, harus case building, melatih body language saat speaking dan memberikan semangat pada mereka. Rasanya muda lagi. 
        Meski team debate dari sekolah itu hanya masuk peringakat 13, tapi dari sekian kompetisi, mereka selalu menang, hanya karena point mereka kalah. Lawan main lumayan bagus dengan sistem skor yang sebenarnya sangat disesalkan. But it's okay, selama bisa berkompetisi, hal itu sudah sangat luar biasa.
Karena menjadi seorang debater butuh kepercayaan diri yg tinggi dalam berargumen dengan tim lawan pun juga harus bisa meyakinkan judges dan audiens. Bangga deh rasanya bisa terjun lagi dengan motion-motion luar biasa yang harus kami bahas dan diperdebatkan dalam sebuah kompetisi debat. Hal itu membuktikan bahwa ilmu itu akan selamanya bermanfaat.
        Bulan Oktober biasanya seluruh SMU atau SMK mengikuti even English Debating Competition, entah untuk tahun ini. Aku berharap bisa menyaksikan lagi adik-adikku mengikuti kompetisi lagi. Semoga lebih baik dari yang kemarin... amin... Semangat!

Hal apa yang paling berkesan di sekolahmu?
* kalau aku memakai seragam putih abu-abu :)


MellsWritingZone.   

Senin, 03 September 2012

Jejaring Sosial Ajang Promosi & Transaksi

'Penulis perlu juga ilmu berdagang.'

        Berdagang memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Membayangkan kata dagang bagi saya sungguh sesuatu yang amat menakutkan sebelumnya. Jika ingin menjual sesuatu biasanya sudah keduluan beberapa sindrom merugikan ini :
1. Takut kalau dagangannya nggak laku karena tidak bisa ber-iklan yang menarik.
2. Takut rugi -soal kepercayaan dan hitung menghitung uang.
3. Takut komplain - tidak siap mental menerima berbagai komplain.
4. Modal yang pas-pasan.
      Ketakutan itu yang cenderung menghalangi kita untuk mencoba berniaga. Namun tidak semua orang mempunyai kendala yang sama, kendati demikian ke empat hal itu cukup menghambat kemajuan usaha. Belajar dari berbagai macam kegagalan, intinya hanya 'tidak takut untuk mencoba.' Karena semua usaha pasti punya resiko. Jika kita tidak berani mencobanya, kapan mau maju?
Salah satu cara berniaga yang mudah dan cepat adalah dengan memanfaatkan jejaring sosial. Banyak sekali jejaring sosial yang digunakan banyak orang untuk berniaga. Baik sekmen kecil maupun besar, seperti jual beli online di Facebook, Twitter, Blog dan banyak lagi di Internet bahkan sampai diiklankan di TV. Kita hanya tinggal pandai-pandai memanfaatkannya. Tidak sekedar having fun dengan teman tapi juga menghasilkan kemajuan yang lebih dari sebelumnya.
        Lalu mengapa penulis perlu belajar berdagang? jawabnya pasti semua sudah jelas. Karena penulis juga berperan menjual buku-buku karyanya. Jika tugas penulis hanya menulis dan menunggu hasil penjualan dari penerbit, hal itu sangatlah tidak cukup. Sebagai penulis yang sudah melahirkan karya, tentu saja penting sekali untuk mempromosikan buku masing-masing agar banyak pembaca yang tertarik dan membeli buku kita. Selain membantu karya kita terjual lebih banyak, hal ini juga membantu memperkenalkan karya kepada publik yang terkadang tidak cukup mendapatkan informasi atau iklan dari penerbit yang bersangkutan. Sehingga masih banyak publik yang tidak mengenal karya kita.      
       Di sisi lain, penulis juga bisa mengambil keuntungan dari proses jual beli karyanya. Tidak bisa dipungkiri dan tidak perlu naif tapi patut bersyukur. Mengenai honor yang terkadang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan satu bulan, karena semua royalty dan honor adalah wewenang penerbit untuk menentukan berapa besar yang akan kita terima dari penjualan naskah. Maka penulis bisa menambah uang saku dari hasil penjualan bukunya. Baik secara online maupun langsung. Tentu saja semua ada kelebihan dan kekurangannya. Apabila kita punya toko buku sendiri, otomatis tidak perlu susah mencari tempat, tapi hal itu berat bagi penulis yang tidak punya tempat untuk jual beli. Salah satu cara yang mudah adalah dengan Jual beli Online.
        Meski ada kemungkinan resiko ditipu pada saat menjual Online, namun ada solusi terbaik. Setelah mempelajari beberapa toko buku Online dan banyak online shop lain, kita hanya tinggal mengatur cara pembayarannya saja. Istilahnya biasa kita dengan 'ada uang-ada barang'.  Jika pembeli telah mentransfer dan terbukti uang masuk, maka barang baru dikirim. Hal itu untuk menghindari penipuan dalam pembayaran, sehingga penulis tidak mengalami banyak kerugian. Sebaliknya apabila uang dari pembeli telah diterima, hendaknya penulis yang notabene juga penjual harus segera mengirimkan buku dengan segera sesuai perjanjian. Dan perlu diingat bahwa resi pengiriman barang harus kita simpan baik-baik sampai barang yang kita kirim benar-benar sampai kepada pembeli. Jika terjadi masalah kita bisa mengklaim pada jasa pengiriman yang bersangkutan untuk diproses dengan baik.
       Nah hanya itu kiranya yang harus dipersiapkan demi lancarnya usaha kita sebagai penulis yang juga ingin menjual buku-buku kita untuk umum. Jika tidak mampu mempersiapkan tempat dan modal yang besar, kita bisa menggunakan media Online sebagai ajang promosi dan transaksi. Modal tidak perlu besar, kita tinggal membeli buku dari penerbit sesuai pesanan saja, tidak perlu menyetok jika tidak yakin seandainya buku kita akan terjual semua. Perlahan tapi pasti, dengan sering menampilkan gambar cover buku, resensi atau interaksi dengan publik, buku kita akan dikenal orang dan membuat orang lain penasaran untuk membacanya. Dan perlu diingat bahwa penulis yang menjual buku-bukunya mempunyai satu kelebihan dibanding toko buku. Terkadang membeli dari penulisnya merupakan sesuatu yang istimewa, karena pembeli bisa sekaligus me-request  tanda tangan atau kata-kata mutiara penyemangat.
* ^_^ maaf alay.

Tidak percaya?
Saya buktinya :) *iklan, selama ini saya tidak bisa berdagang dan belum pernah berdagang. Tapi seiring terbitnya novel saya yang pertama dengan judul Xie Xie Ni De Ai, saya sering menampilkan foto covernya dan juga informasi harga serta resensi sederhananya melalui facebook, twitter dan Blog. Dan dari situ, orang-orang mengenal nama saya dan novel saya, dengan seringnya wira-wiri di facebook, cover novel saya berhasil membuat teman-teman Fb saya penasaran dan memesan novel saya. Alhamdulillah saya berhasil menjual lebih dari 150 eksemplar novel saya. Meski hanya sekitar ratusan, hal itu sudah sangat hebat, secara saya bukan orang yang pandai berdagang. Dan sedikit banyak saya pun ikut berperan dalam penjualan novel saya hingga best seller hingga mengalami cetak ulang.
So, buktikan dengan karya kawan-kawan semua. Penulis itu tidak boleh pesimis dan harus mempunyai pemikiran yang lebih maju. Tidak Stuck dan mudah berpuas diri.

Selamat mencoba kawan!

Kartasura, awal September 2012.