Rabu, 01 Agustus 2012

Puisi Bebas - Tentang Alam -



        Selamat pagi kawan, kali ini saya memposting puisi yang dulu pernah kena tipu saat lomba. Ada pengumuman lomba puisi, saya ikuti dan saya mengirim 5 naskah puisi tentang alam dan keadaan kota tempat tinggal yang berhubungan dengan isu sosial. Tapi setelah tanggal pengumuman, tidak ada panitia satu pun yang bisa di hubungi. Akhirnya masih nganggur, dua diantaranya ini... 
Menunggu Janji , saya dapat idenya di pasar Klewer , Solo, saat jalan-jalan. Di depan saya banyak sekali pedagang kaki lima yang panas-panas menjajakan dagangannya. Ada pengemis, ada berbagai macam orang dengan keadaan yang mencolok sekali perbedaannya. Entah harus bersyukur atau prihatin...dan inilah jadinya.

Yang ke dua Tobong, puisi ini saya buat saat jalan-jalan menuju pantai di daerah saya Gunungkidul. Sesuai apa yang sempat saya baca di koran, Gunungkidul merupakan daerah batu kapur. Dan di sana sedang marak  didirikan tobong-tobong gamping (batu kapur)  ilegal yang dampaknya terjadi tanah longsor. Dan itu sangat merugikan masyarakat yang lain.

Selamat membaca dan mengkritisi kedua puisi ini kawan-kawan...


MENUNGGU JANJI

Melintas sejenak pada binar kesederhanaan ditanah Sunan. Memacu  gigih mimpi-mimpi buta. Kegamangan mencari pendar cahaya harap menebar. Letih terkadang singgah pada titian emosi, menyeruak galau.
Laju roda tak beraturan tiada memberi pilihan pada kaki menapaki aspal. Ah, jika langkah kalah pada ban-ban dijalan, remuk sudah.
Keringat menetes bersatu genangan air di pelupuk, mencipta serpih-serpih asa, pada janji tanah ini. Kejar mengejar sisa kesempatan menengadah zaman. Menelaah debu pada batik-batik kusam tak terjual,
juga bungkus-bungkus dari isi yang tertinggal di alun-alun.
Koyaklah harga diri pada ego Tuan berduit.
Pulang, menyandang serapah sampah yang terbuang sengaja. Menghela kekikiran penguasa.
Lama…
Tertegun dipersimpangan.
Sampai detik berhenti, menunggu  hidup mati kota ini.

Pasar Klewer, Maret 2011.



TOBONG

Kelopak memucat, akar-akar serabut mengering menjadi arang matari. 
Kilas menghijau terdampar pada lelumutan bagai daki di tubuh orang. 
Inilah caraku makan!
Bukan pada kebijakan sang pecundang atau mengemis belas diktator negara, salahkah?

Tunjukkan letak benar di matamu, dan runtuhkan salah dalam tindak tak wajarku, hingga pelipis tak lagi berkerut. Dan garis keturunanku masih bisa memijak gunung subur.
Bertahun memujamu hampa, sekedar melambaikan tangan tanpa payah. 
Kendati batu ini lebur, lubang-lubang menganga jangan jejakmu menginjak!
Biar saja kumati dalam timbun kapur ini.

Gunungkidul, 02 Oktober 2011



 MellShalihaZone.

2 komentar: