Selasa, 31 Juli 2012

‎[TIPS] Biar Semangat Menulis


Selamat pagi kawan-kawan,
Gimana sih caranya biar menulis gak begitu terasa membosankan dan selalu bersemangat? Pastinya berbeda-beda dunk, saat kita tertimpa writerblock  atau Writer Bad Mood ^_^ bikin istilah sendiri nih, nah... cara di bawah ini sapa tahu bisa bantu kalian...
Mungkin nggak semua penulis sama, tapi ini yang pernah saya rasakan :

1. Pilih naskah yang sesuai saat itu - biasanya kan nggak hanya satu draft yang tersimpan di lepti, nah sesuaikan saja dengan mood kita saat itu:)

2. Online - ternyata OL nggak selalu merugikan kok pada saat nulis, justru banyak membantu, misalnya : sambil chat atau saling koment antar penulis, bisa jadi cambukan semangat. Karena kita tidak sedang menulis sendiri. Hal itu juga bisa mencambuk keinginan kita untuk 'gak kalah cepet' sama teman penulis yang lain. coba deh...

3. Nulis di pagi hari, pikiran kita lebih fresh daripada malam, selesai kerja bisa ngantuk, eh tapi nggak semua siih... kondusif kalau yang ini. Tapi bisa jadi di pagi hari ide kita juga lebih fresh lhoo...

4. Sambil membaca-baca blog alias browsing tulisan, iiih... udah biasa kalii...tapi hal ini juga bisa membuka pikiran kita yang tadinya blank, bisa deh memunculkan ide lain yang lebih seru.

Naaah ini aja deh sharing sy pagi ini, semoga bisa bermanfaat khususnya bagi sesama pemula seperti saya yang sering demam 'writerblock'.

Selamat menulis untuk hari ini... 


Kartasura, pasca subuh
Mellshaliha Zone.

Selasa, 17 Juli 2012

Nggak Minat Lomba Nulis yang pake Bayar

Next... curcol nggak penting ...

      Dah tahu judulnya pastilah sudah bisa nebak, bahwa saya tidak berminat mengikuti lomba yang akhirnya nerbitin karyanya Indie, alias harus bayar sendiri. Pelit ya? Apa saja deh, yang jelas jika persyaratan lomba yang tertera itu kemudian pemenangnya harus bayar untuk nerbitin karyanya, maka saya langsung meninggalkan laman itu. Bukan sombong atau apa, sebenarnya belum tentu juga saya bakalan menang lombanya, tapi saat mendapati akhirnya pemenang harus membayar secara indie, saya sudah menyerah.
       Saya salut banget sama teman-teman yang selalu bersemangat mengikuti ragam lomba dengan ketentuan penerbitan indie dan harus bayar sendiri. Sepertinya tidak ada beban, padahal pembayarannya lumayan mahal, meski dengan potongan berapa ratus ribu. Hal itu berat sekali buat saya, saya lebih memilih mengirimkannya ke media daripada menjadikannya buku, apalagi harus keluar uang banyak. Belum nanti pemasarannya atau distribusinya yang ribet. Ya maklum saya tidak bisa berdagang dengan baik. Menjual buku secara OL itupun sangat berat, apalagi sudah keluar uang duluan. Haduh... ini pemikiran yang sangat buruk sepertinya. Karena saya memang sudah takut duluan. Saya bukan mikir lalu saya nanti bakalan punya buku antologi, yang berat dari sisi saya adalah penerbitannya yang harus bayar. Coba kalau yang menang nanti buku akan diterbitkan saja, niscaya saya akan tertarik :D Seperti antologi cerpen dan dua puisi saya, karena saya masuk nominasi maka akan dibukukan, meskipun penerbitnya indie, tapi panitia tetap tidak meminta pembayaran dari pemenangnya. 
       Hehhee... saya tahu, semua pasti punya pedoman maisng-masing dalam hal ini. Sah-sah saja sih, hanya mental dan kantong saya belum sanggup untuk menghadapi panitia lomba yang syaratnya itu. Kantong saya yang tidak tertarik :D hehhehe... 
       Jadi, bagaimana dengan teman-teman semua? apalagi yang ratu-ratu antologi, apakah kalian tidak keberatan dengan panitia yang ternyata menyuruh pemenang atau nominator membayar penerbitan? dan apa sih resepnya untuk bisa seberani itu?

Ini aja deh nge-blognya hari ini... semoga ada masukan dari teman-teman. Kok bisa saya berpikiran seperti ini yaa...?


^_^

Senin, 16 Juli 2012

[CERPEN] WE WILL NOT GO DOWN



                                                                                                 By: Mell Shaliha

“Andai aku ditakdirkan hidup 1000 tahun lagi, mungkin aku akan merasakan indahnya kehidupan di bumi ini. Mungkin angin akan selalu mengabarkan kebahagiaan bagi kami, keharuman tanah kami, sejuknya embun di dedaunan, ramai pedagang di pasar-pasar, tawa riang taman kanak-kanak. Mungkin juga aku akan bersujud di setiap masjid yang indah berdiri di negeri ini, atau hujan yang akan menumbuhkan bunga-bunga wangi di tanah ini, MUNGKIN… namun kami tidak akan turun jalan tanpa perang hari ini!”
            Namaku Hizby, mungkin aku harus bersyukur pada Tuhan atas kesempatan bernafas yang Dia berikan padaku sampai detik ini. Tapi ada banyak hal yang tidak diketahui orang-orang di luar jalur hidupku. Air mata, ketakutan, ancaman, darah dan kematian yang serasa sangat dekat denganku. Setiap detik, siapa sangka hidupku akan sampai hari ini. Aku telah kehilangan semuanya. Ayah, kakak dan saudara-saudaraku seiman, semua telah bersatu dengan bumi tanpa sisa karena hantaman bom sekutu biadab Israel yang mereka proklamirkan sejak tahun 1948, tahun itu bahkan saat orang tuaku belum dilahirkan mereka telah merampas hak-hak kami, rakyat Palestina. Tapi aku harus bersyukur karena Tuhan masih meninggalkan ummi dan seorang adik perempuan untukku.
            Siang itu Sharon, adikku yang masih berumur delapan tahun menungguku mengambil jatah makanan di camp. Aku memang tak mengijinkannya mengambil sendiri. Badannya kurus walau aku tak lebih gemuk darinya, tapi aku masih lebih kuat bertahan dari dorongan, desakan dan kekerasan yang biasa terjadi saat mengantri di camp. Aku tidak pernah tega melakukan itu. Setiap waktunya tiba aku hanya menyuruh ummi dan Sharon untuk diam di tempat. Bagaimana bisa ummi yang hanya bertangan satu mengambil jatahnya sendiri dan kadang juga harus kuat melawan desakan dari orang lain. Dan Sharon, bisa saja dia terinjak dan tidak jadi makan jatahnya.
            “Pesawaaat…Hizby, kembalilah putraku. Allohu Akbar…Hizby cepatlah kembali Nak!”
Teriakan ummi membuatku lebih panik dari biasanya. Pesawat tempur Israel kembali mengintai kami. Ada tiga pesawat tempur yang membuat kami berhamburan mencari tempat yang paling aman, walaupun kami tahu semua tempat di Gaza dalam bahaya. Tapi setidaknya ada yang kami lakukan untuk menyelamatkan jiwa kami dari  ancaman mati. Aku segera menuju tempat ummi dan Sharon. Secepat mungkin harus kuraih adik dan tangan ummi-ku menuju rumah tinggal kami yang sebenarnya sebagian hanya tinggal puing-puing hasil kerja bom Israel juga. Entahlah kali ini kami akan selamat atau tidak. Tetapi beberapa tentara suka relawan yang entah dari negara mana melarang kami kembali. Kali ini tidak ada tempat aman di Jalur Gaza dan kami tahu, tidak banyak yang bisa kami lakukan selain menuruti perintah mereka.
            “Sharon, cepatlah...kita harus segera pergi, Ummi…kita harus segera pergi…cepatlah.”
Tangan kanan dan kiriku telah menggenggam tangan kedua bagian hidupku. Aku berdo’a semoga Tuhan tak mengambil mereka dariku. Tuhan telah mengambil ayahku Husein Ibrahim yang syahid melawan tentara Israel. Ayahku ditangkap dan dibantai di depan kami pada saat kami berada diatas kapal Turki Mavi Marmala untuk menyelamatkan diri. Hingga membuat Sharon trauma jika melihat tentara Israel yang membabi buta. Sharon akan menangis  dan tak dapat bicara, ia selalu menggigil mendengar deru pesawat tempur di langit yang tak pernah henti. Begitu juga ummi yang harus merelakan tangan kanannya demi membela ayah saat itu. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Kakakku Idfar telah meninggal saat tergabung dalam operasi pengintaian buldoser Israel di Der Balah. Operasi itu dilakukan selama sepuluh jam yang berakhir dengan kemuliaanya mencapai syahadah ketika ia bergabung dalam pasukan intifadhah Al Aqsha, sebelum pembantaian di Mavi Marmala.
            “Hizby, pergilah membawa Sharon sejauh mungkin, jika perlu larilah hingga Yafa  atau Haika, tinggalkan ummi di sini, putraku, pergilah!” wajah ummi pucat, sepertinya tak punya tenaga untuk menuju truk yang biasanya membawa kami pergi menyelamatkan diri.
“Tidak Ummi, saya tidak bisa pergi tanpa ummi, biarlah saya mati jika harus meninggalkan ummi di sini. Hidup kita di sini hanya tinggal menunggu waktu, dan kami akan bersama ummi walau harus mati sekarang.” Sambil mencoba memapahnya, aku meyakinkan ummi untuk tidak menyerah. Sungguh aku tak akan pernah meninggalkannya.
“Cepat sedikit kalian sebelum bom Israel dijatuhkan di sini, ayo cepat…!” teriakan tentara penyelamat kami membuat Sharon gugup dan menangis.
“Tenang adikku, berdo’alah…kita akan selamat dan pegang tanganku kuat-kuat.” Sharon seperti biasa tak bisa bicara. Isaknya semakin menjadi, sedang ummi sudah tidak kuat lagi berjalan meski hanya seratus meter sampai di truk itu.
            Kami mencoba lebih cepat, beruntung seorang tentara bersedia membantuku    menggendong Sharon. Tanganku lebih leluasa memapah ummi untuk berjalan lebih cepat sebelum truk meninggalkan kami.
“Blaarrr...,” satu bom dijatuhkan sekitar tiga ratus  meter dari tempat kami berdiri. Beberapa orang yang masih berada di sekitar camp terkena serangan dadakan itu. Aku sempat melihat Wail, bocah berusia lima tahun masih menunggu Abunya mengambil makanan. Sebagian dari mereka tetap mementingkan makanan untuk anak-anaknya baru menuju truk. Entah bagaimana nasib Wail, semoga Tuhan memberinya perlindungan. Ummi sudah berhasil naik ke dalam truk bersama Sharon dan orang-orang yang kami kenal. Aku mendengar kami tidak akan dibawa ke Al Quds karena di ibu kota, Israel lebih leluasa bergerak dengan kebiasaan intervensi  militernya yang menyerah menjelang tengah malam.
            Mereka juga berupaya menguasai satu-satunya masjid milik ummat Islam setelah berhasil meratakan sekitar 1200 masjid lain di palestina yaitu Masjid Al-Aqsha. Dengan hilangnya Masjid Al-Aqsha dari tangan kaum muslimin, maka habislah riwayat kaum muslimin di Al-Quds. Untuk itu, siang dan malam Israel terus berusaha untuk mengambil alih kepemilikan Al-Aqsha dari tangan kaum muslimin. Setapak demi setapak mereka mengambil alih Masjid al-Aqsha. Seperti itulah mereka melakukan aksinya demi mimpi besar mereka mendirikan Kuil Yahudi yang hingga kini belum terwujud. Dimulai dengan penggalian di bawah masjid, pembangunan disamping masjid serta penghancuran sejumlah tempat suci ummat Islam di sekitar A-Aqsha, belum cukup untuk membuktikan bahwa di sana terdapat bekas bangunan Haikal Sulaiman yang mereka klaim. Namun mereka tak kenal putus asa, terus melakukan pembangunan dan perubahan demografi al-Aqsha dalam rangka mempersiapkan pendirian sinagog terbesar Israel melalui sejumlah rencana jahat dan mega proyek Al-Quds. Hal itu tentu saja mereka lakukan dengan cara yang sangat kotor dan keji. Aku yakin tidak ada pengampunan lagi bagi mereka -Israel!
            Dua pesawat tempur Israel sepertinya tak berhenti mengintai kami dengan bebas di udara. Beberapa kali serangan balasan dilakukan dari camp militer siaga. Aku seperti terbiasa dengan dentum senjata mematikan itu, jantungku sudah terlatih sejak kecil dan aku  memang harus lebih berani dari Ayah dan Kakakku karena aku harus bisa melindungi ummi serta Sharon. Oh Tuhan, aku lupa membawakan minum untuk Sharon. Saat seperti ini dia sangat membutuhkan air putih untuk lebih menenangkannya. Hampir saja aku masuk ke dalam truk tanpa memikirkan keadaan Sharon.
            “Maaf Sir, bolehkah saya meminta air putih untuk adikku, dia dalam ketakutan yang sangat hingga tak bisa bicara. Saya mohon, dia membutuhkan air untuk minum.”
“Maaf, truk ini akan segera berangkat, kalau tidak mereka akan membunuh kita semua dengan sekali hantam. Anda harus tahu. Kita harus menyelamatkan semuanya sekarang juga. Cepatlah masuk!”
“Sebentar saja pak, adik saya akan mati sesak nafas dalam keadaan trauma, pak…saya mohon, dua menit saja.”
“Demi Tuhan anak muda, tidak bisa, maaf anda harus naik atau kami akan pergi tanpa anda.” Percuma, bersikeras tetap tidak akan membuat mereka menungguku. Tapi di dalam truk yang pengap, Sharon akan sangat menderita.
“Maaf pak tapi saya harus mengambil air putih untuknya.” Aku tak peduli lagi pada tentara penolong kami itu. Dia berteriak lebih keras padaku. Lariku menuju camp banyak terhambat orang-orang yang berhamburan menuju truk-truk lain. Aku berhasil mencapai camp dengan cepat dan mengambil air putih yang sudah ditinggalkan  pengurusnya. Segera kuambil dengan sisa gelas yang tergeletak di sekitar camp.
            Namun aku lupa, bahwa disini tak ada aturan saling menunggu, apalagi hanya untuk meyelamatkan nyawa satu orang, tidak akan pernah mereka mengorbankan banyak nyawa. Aku berusaha lari secepat mungkin sebelum bom lain jatuh tepat di tanah yang sedang aku pijak atau mungkin di truk-truk yang mengurus pengungsian itu. Yaa…Tuhan, aku malah menyandung seorang nenek yang tergopoh-gopoh mengejar truk. Kemudian aku berbalik lagi, percuma jika aku selamatkan satu nyawa keluargaku jika aku harus membunuh nenek yang tak berdaya itu. aku mencoba memapahnya walaupun ia hampir menyerah.
            Seandainya aku punya kekuatan lebih, akan ku gendong si nenek dan kubawa lari secepatnya. Doorr….! Suara senapan, aku tak sadar hanya ingin berlari dan berlari, namun rintihan lemah si nenek menyadarkanku. Aku melihatnya, kakinya melemah, darah dimana-mana dan aku semakin sadar bahwa kaki kanannya yang tertembak entah dari arah mana. Kemana aku harus berlari? Truk itu…aku memaksa Si nenek untuk bertahan, sambil kuseret berjalan, namun truk yang membawa ummi dan Sharon telah berlalu. Aku melihat lambaian tangan ummi sambil menjerit memohon pada tentara untuk menungguku, namun semua sia-sia. Aku menangis, hanya itu.
            “Tolong pak, selamatkan nenek ini pak, dia tertembak, saya tidak kuat lagi.” Kulihat ada tiga tentara suka relawan asing langsung mendengar teriakanku. Mereka menggotong Si nenek dan aku mengikuti kemana mereka akan membawa kami. Ada satu truk lagi, artinya masih ada kesempatan untuk selamat. Jika mereka juga membawa kami ke Akka, satu-satunya daerah yang masih terbilang aman di Palestina tentu aku bisa bertemu kembali dengan ummi dan Sharon di Masjid Ahmad Pasha.
“Maaf Pak, apakah mobil ini akan menuju Akka  seperti yang lain?” tanyaku penuh harap.
“Maaf, tidak. Kami semua menuju Al Quds. Ini mobil tentara anak muda, bukan yang mengurus pengungsian. Truk-truk itu sudah pergi beberapa menit yang lalu.” Pupus sudah harapanku. Kami berpisah, aku, ummi dan Sharon. Ada sesal yang seakan menyumbat seluruh kelenjar, semua bagian tubuhku jadi tak mampu bekerja. Hanya kelenjar air mata yang dengan mudah melaksanakan tugasnya. Selama dua puluh tahun sakit hati ini terulang kembali, seperti saat kehilangan Ayah dan Idfar. Sekarang aku harus melepas kedua bagian hidupku dalam keadaan yang sedang gawat di negeri para Nabi ini.
            Aku ingat pesan Ummi dulu disaat-saat kami menikmati detik yang aman dan kami bisa tidur nyenyak, pesannya… ‘Anakku Hizby, menangislah jika kau ingin menangis sebagai ummat Rosululloh, namun jadilah pemuda yang kuat seperti-nya, kuat seperti ayah dan kakakmu Idfar, karena hanya dengan kekuatan dan keberanian kamu bisa melawan semua ini, kamu bisa hidup dan bertahan disini. Jangan pernah lari dari keadaan ini kecuali menyelamatkan diri, namun alangkah bijaknya jika kau menyayangi negeri ini dan mempertahankannya walau dengan darahmu sekalipun. Ingat, kita hanya akan pergi atas panggilan’Nya. Kau paham anakku? Lihatlah, para tentara sukarelawan itu, mereka rela meninggalkan keluarga dan negaranya untuk membantu kita mempertahankan Palestina. Mereka rela meninggalkan keluarganya dan mati untuk Palestina, karena mereka mencintai kita dan negeri ini. Maka jangan sekali-kali kau meninggalkan angkara murka ini jika matimu akan selamat sayang.’
            Debu dan pasir Al Quds mengiringi angin senja. Mataku kembali mengeluarkan air lelah yang sangat dalam sujud panjangku di Masjidil Aqsha. Aku merindukan Ummi dan Sharon, bagaimana keadaan mereka di Akka? Apakah mereka baik-baik saja yaa Robb? Hanya kepada’Mu aku memohon perlindungan atas mereka. Selamatkan mereka dari kedzaliman Israel, selamatkan Palestina kami yaa…Robbi…!
Lima hari sudah aku lalui di Al Quds, kami hampir tak pernah bisa tidur melewati malam dan siang. Akhirnya aku putuskan untuk mengajukan diri bergabung dengan pasukan militer sukarelawan untuk berperang. Aku harus menjalankan pesan ummi, untuk mempertahankan bumi kami.  ***
Subuh di Al Quds, masih dengan ‘simfoni’ peperangan yang mencekam. Kami, para militer mendengarkan kalimat demi kalimat pengobar semangat kami untuk syahadah di jalan’Nya. “Wahai kaum muslimin!! Hari masih pagi saudaraku, perang ini baru saja dimulai…bangunlah, hapus air mata ibunda kita, anak-anak kita, para orang tua kita, saudara-saudara kita dan jangan menitikkan air mata untuk kekalahan. Yahudi menginginkan pembagian Masjid al-Aqsha sebagaimana yang sudah mereka dapatkan atas Masjid Ibrahimi di Hebron. Yang mereka inginkan adalah yahudisasi Al-Aqsha bukan sekedar menghancurkan Al-Aqsha!! Mari kita bangkit untuk kemenangan Islam!”
            Palestina, andai aku bisa merasakan ‘kehidupan’ diatasmu, saat ini aku merasakan hidup yang paling indah. Di subuh ini aku bangun dari tidurku, aku hidup dari matiku dan tunggulah sujudku dalam balutan kasih’Nya di subuh-subuh yang akan datang.
Allohu Akbar… Lapor kapten, baru saja kami mendapat laporan dari tim militer di Akka, Israel baru saja menjatuhkan bom di Masjid Ahmad Pasha saat sholat jamaah subuh dilakukan.”
Farad, teman seperjuangan yang aku temukan di Al Quds melemparkan ‘bom’ yang sama kurasakan menghancurkan jiwaku yang masih bersujud. Ummi, aku tidak akan menangis lagi untuk Palestina.  Allohu Akbar!!

                                                                                                 ***

MENULIS FIKSI sambil Rekreasi


          Sulit, mungkin kata itu pertama kali yang kebanyakan orang bilang tentang menulis. Bahkan sy Pernah mendengar, menulis itu sesuatu yang dianggap kurang kerjaan, apalagi seorang cerpenis atau novelis. mungkin kebanyakan orang berfikir bahwa menulis fiksi itu mudah, hanya tinggal melamun, berimajinasi, selesai. Ups tapi tidak, menurut pengalaman saya selama 'belajar menulis', membuat tulisan fiksi itu sangat rumit. Ada kalanya jika imajinasi bisa diajak kompromi, satu cerita pasti jadi. Tapi sering juga kita tersendat oleh mood atau bahan yang akan kita bicarakan. Misal mengenai setting/tempat sebuah cerita kita kadang tdk cukup hanya membayangkan, melainkan harus benar-benar mengenali seperti apa tempat yg kita jadikan setting dalam cerita kita. Semakin detail lokasi, pembaca tentu akan semakin jelas dan membayangkan 'mereka' sedang berada ditmpat yang kita ceritakan.

Me and My first novel - Xie Xie Ni De Ai`
        Cerita fiksi menurut saya, bukan sekedar bualan/khayalan, namun juga membutuhkan riset. Selain setting, bahasa, budaya dan perwatakan tokoh dalam cerita fiksi juga memerlukan waktu untuk mempelajarinya agar cerita kita tidak sekedar bualan, melainkan 'punya' sesuatu yang perlu diketahui pembaca. Membaca menurut saya adalah membangun persepsi awal. Artinya bacaan biasanya akan mempengaruhi pembaca, entah sekedar pandangan/penilaian atau bisa jadi mereka mengambil 'sesuatu' dari apa yg sudah kita tulis, maka dari itu penting sekali menuliskan hal-hal yg bermanfaat seperti pengetahuan atau apa saja yg kita siratkan lewat cerita. So, tulisan kita akan sedikit lebih bermanfaat daripada sekedar bacaan penghibur.

        Seperti novel yang berhasil saya tulis di Hongkong tahun 2007 lalu, banyak hal yang saya tuangkan dalam kisah fiktif bertema perjuangan, persahabatan dan perncintaan itu.
Saya tidak hanya hendak menuliskan cerita cinta didalamnya, namun beberapa kisah sejati dari pengalaman saya dan kawan-kawan buruh migran yang berjuang mati-matian mempertahankan ibadah di negeri tirai bambu juga melengkapi fakta yg terjadi disana.
Penjabaran setting dalam lingkungan kampus HONGKONG Polytehnic University, pantai-pantai di Hong kong, beberapa masjid di Wanchai, beberapa Gedung di Taiwan, lokasi di Harajuku Jepang dan beberaba bahasa Asing yang berhasil saya pelajari juga saya harapkan akan  menambah wacana pembaca di manapun. Itu merupakan bukti bahwa menulis fiksi juga membutuhkan banyak belajar, tidak seperti merebus mie instan.

     Maka, besar harapan saya, novel perdana saya akan bermanfaat dan menambah wawasan atau paling tidak mampu menghibur seluruh pecinta novel di Indonesia (Nasional) maupun semua WNI di Luar negeri... Amin...


Selamat Berekreasi bersama Novel yang ditulis oleh seorang mantan 'Pembantu Rumah Tangga' ini dan beri kesempatan kami berekspresi...!!


PROSES PANJANG PENULISAN NOVEL 'XIE XIE NI DE AI'


“Bagaimanapun Aanon tidak akan mengerti apa yang dirasakan Ale. Ketika tiba-tiba Aanon melihatnya tanpa jilbab. Entah berpengaruh atau tidak terhadap Aanon, atau bahkan dia tidak peduli, akan tetapi bagi Ale ini suatu musibah. Namun, Ale sudah sedikit tenang, meskipun menyesal dengan kejadian itu.”   

Novel perdana yang akhirnya sempat Cetak ulang.
           Mungkin itu hanya peristiwa sepele yang dialami tokoh Alenia Fatmawati sebagai tokoh utama dalam Novel XIE XIE NI DE AI atau Terima Kasih Untuk Cintamu namun, Peristiwa itu menjadi pintu masuknya ujian-ujian hidup yang akan dihadapi Ale selanjutnya. Tokoh-tokoh pendukung yang berkewarganegaraan Cina pada umumnya seperti Chelsy, Selina, Daniel, Aanon, Zie juga beberapa tokoh dengan kewarganegaraan Jepang seperti Ryu, Maki, dan Dahe, menjadi sarana pembanding budaya yang kompleks dengan apa yang Ale punya dan bawa dari rumah seperti budaya Jawa asalnya yaitu Solo, dan tentu saja Islam yang kental. Selain kisah cinta yang memang dimunculkan di sepanjang bab ke bab, juga lintas bahasa (yang ditandai dengan banyaknya catatan kaki) yang memperkaya imajinasi kita tentang situasi Hong Kong. 

        Begitulah harapan saya lewat tokoh Ale bahwa: perempuan-perempuan Indonesia mesti bermartabat; pekerjaan halal meski dianggap rendah sekalipun tidak menyurutkan diri untuk selalu menjujung tinggi kehormatan, harga diri, cara berpikir, semangat hidup, dan kreativitas; Islam—di mana pun berada tidak semestinya berubah, harus utuh dan kekal; belajar segala hal tentang kehidupan—baru akan mematangkan ilmu yang mungkin didapat dari sekolah-sekolah.

           Kalau bicara soal 'Proses Kepenulisan' jujur saja, saya sedikit minder, tapi bagaimanapun ini harus saya ungkapkan. Tiga tahun, sebagai penulis yang baru saja belajar menulis dan pekerjaan saya yang rendah yaitu hanya sebagai seorang TKW di Hongkong yang tidak pernah mengenyam bangku kuliah, mewujudkan tulisan ini menjadi novel merupakan hal yang dulu menurut saya tidak mungkin. Ketika saya mulai belajar menulis sejak 2006 dengan masuk di komunitas sastra FLP wilayah HOngkong dan banyak membaca novel-novel remaja karya mbak Leyla Imtichanah, akhirnya perlahan saya mencoba mengukir mimpi menjadi novelis. Awalnya sepele, saya nge'Fans dengan boyband Taiwan bernama Fahrenheit. Entahlah apa yang membuat saya begitu 'mencintai' salah satu personil Fahrenheit Aaron Yan yang akhirnya saya tempatkan sebagai salah satu tokoh utama dalam novel ini. Ketika melihatnya bicara, tersenyum terasa greget saya semakin kuat untuk bisa dekat melalui halusinasi saya- kata temen-temen seperti orang gila. Lalu tercipta sebuah ide sederhana, kemudian sy mulai reset tempat-tempat yang saya jadikan setting nyata (jalan-jalan), mulai belajar bahasa Kantonis lebih dalam, Mandarin sedikit Jepang dan Korea untuk memberikan warna dalam novel ini.

        Ternyata menulis bukan hal sederhana, saya harus membagi waktu. sedangkan jam kerja saya bisa dibilang selalu overtime. Dari bangun pagi jam 5 sudah mulai mengurus anak-anak majikan dan seorang manula.seluruh pekerjaan rumah tanpa kecuali harus selalu selesai sempurna sampai jam 12 malam bahkan kadang lebih. saya baru bisa masuk kamar setelah semua anggota keluarga tidur,baru saya mandi dan istirahat. Artinya jam terbang saya menulis sekitar jam 1 sampai jam 2 atau lebih dini hari. Awalnya saya sempat pesimis, ini tidak mungkin bisa saya lakukan. Tapi saya akali dengan waktu kerja (menjemput anak dr skul, membawa nenek jjs, di kereta api, di dapur saat masak) saya membawa note kecil untuk menulis bagian2 ceritanya, ketika ide muncul, saya segera corat-coret. Malamnya baru saya tuangkan ke dalam lepi (itu saja sembunyi2). selama dua tahun berhasil menulis sekitar 125 halaman saja.
Lalu saya ikutkan novel saya diajang sayembara novel nasional yang diadakan Penerbit Pro-u Media Jogjakarta. Dari 120 lebih peserta yang saya lihat juga ada mbak Leyla Imtichanah:D alhamdulillah bisa masuk 30 besar walau akhirnya kalah dunk sama penulis senior seperti beliau, tapi bagi saya itu sudah jauh lebih baik. Akhirnya saya mulai Optimis. Novel dikembalikan oleh panitia dan beberapa revisi disana-sini saya lakukan. halaman bertambah menjadi 165.Vacuum, saya hentikan dulu karena banyak hal mengenai kesehatan saya sangat mengganggu.

        Setelah desember 2009 saya sampai di Indonesia, saya mulai aktif lagi menulis, sekitar bulan Maret saya iseng mengirimkan naskah saya ke penerbit Diva Press yang saya tahu dekat dengan rumah saya di Jogja dari membaca buku-buku terbitan Diva Press. Tidak banyak berharap, karena Diva salah satu penerbit Major yg besar di kalangan nasional, seperti ketiban durian hahaha...akhirnya bulan Juni 2010 pihak Diva mengabari bahwa novel saya diterima. Saya sujud syukur sambil menangis dan hujan-hujan di halaman rumah. Akhirnya beberapa revisi saya lakukan, penambahan halaman dengan menambah konflik, setting saya pertajam juga penambahan tokoh atas permintaan penerbit. Dan menunggu selama 1,5 tahun lamanya :)) bulan Oktober 2011 ini novel perdana saya release.
Nangkring juga di toko buku dan Bookfair nasional.

      Sungguh hal yang sulit saya percaya mengingat pendidikan saya yang hanya sebatas lulusan SMK dan tidak tahu sastra, tapi dengan perjuangan yang begitu berat & tdk menyerah alhamdulillah novel ini menjadi buku dan bisa dibaca semua orang. Jadi bagi siapapun saya tekankan, kita semua bisa menulis, asalkan ada niat. usaha dan doa yang tiada henti.
So, impossible is nothing... ^_^

Novel ini bisa dipesan melalui:
www.divapress-online.com atau FB Komunitas Diva-Press kedua atau SMS ke 081215301336
Bagi yang mau pesan via saya/ barter buku juga bisa Inbox atau sms ke 0878 3815 6779.

JUDUL : XIE XIE NI DE AI - HONGKONG, TERIMA KASIH CINTAMU (Revisi Penerbit)
Tebal : 340 Halaman
Ukuran: 14 x 20 cm
Harga : Rp 44.000

Selamat Mencoba dan berekreasi ke Hongkong lewat Novel ini :))

Mell Shaliha

Sabtu, 14 Juli 2012

Harapan dan Kegagalan

           Seberapa besar harapan yang kamu tanam saat mengikuti sebuah kompetisi? Dalam hal ini tentu saja saya ingin membicarakan kompetisi di bidang sastra atau kepenulisan. Dan pertanyaan selanjutnya adalah seberapa kuatkah mentalmu ketika akhirnya menuai sebuah atau bahkan setiap kegagalan? Jawabannya pasti tidak bisa diukur. Atau seperti saya, Optimis sekali ketika mengikuti sebuah ajang perlombaan, seakan sayalah nanti yang bakal jadi pemenang. Terkadang juga terpikir bahkan karya saya sudah pantas mendapat kedudukan teratas. Kebanyakan dari kita tentunya mempunyai harapan MENANG setiap mengikuti kompetisi. Bohong banget kalau misal misinya cuma mau meramaikan. Kita semua tentu punya tujuan dan misi lebih serius dibandingkan dengan hanya SEKEDAR MERAMAIKAN kompetisi itu. Lalu jawaban ke dua adalah sangat down dan putus asa ketika mengetahui kita kalah dalam kompetisi, atau tidak sekedar kalah, namun tidak masuk nominasi.  Pernahkah kalian merasa demikian?
          Saya sering. Dan ketika membuka kembali file naskah yang kita ajukan rasanya sangat muak dan ingin sekali saya buang. Namun ketika waktu akhirnya menyembuhkan kegalauan mental saya, saya selalu memberanikan diri untuk membuka kembali naskah itu. Membaca ulang, mengedit dan memikirkan jalan lain agar jerih payah saya tidak terbuang sia-sia. Itu artinya saya tetap berusaha memanfaatkan naskah yang sudah menjadi 'sampah' di kompetisi itu menjadi 'sampah' yang bisa di daur ulang. Dengan harapan baru yang saya tanam lagi pada naskah itu, bahwasannya masih ada  media lain yang bersedia mengadopsinya menjadi karya yang lebih bermanfaat.
       Beberapa karya saya berupa puisi, cerita pendek dan novel telah gagal mendapat peringkat kemenangan dalam sebuah lomba. Namun saya tetap menyimpan naskah-naskah itu dan tetap berusaha mengedit serta membaca ulang hingga naskah-naskah itu mendapat sedikit demi sedikit perbaikan. Puji syukur atas keadilan dari Sang Maha Penentu, bahwa Dia tidak pernah ingkar kepada hamba'Nya yang mau berusaha. Pada akhirnya salah satu puisi saya yang gagal itu bisa masuk dalam antologi pilihan yang saya ikutkan dalam lomba puisi berselang 2 tahun kemudian. Cerita pendek yang gagal pun akhirnya diterima media cetak dan dibaca ribuan pembacanya. Juga Novel, yang akhirnya mendapat kepercayaan sebuah penerbit untuk di publikasikan. Begitulah.
           Dari semua peristiwa jungkir balik yang pernah saya alami, tentu kalian semua juga pernah merasakan, walau mungkin tak sepahit pengalaman saya. Namun semua pasti ada titik cerahnya. Ada hikmah lebih besar yang tersembunyi dari kegagalan kita di masa lalu. Waktu yang lebih tepat akan menjawab semua kegagalan dengan kesuksesan, tergantung bagaimana usaha kita. Dan tentu saja do'a, karena semua tak pernah lepas dari rahasia Tuhan. Dia yang mengatur semuanya dan memberikan yang terbaik sesuai permintaan hamba'Nya. So, sekarang saya sudah terbiasa melewati kepahitan, kegagalan dan jatuhnya mental ketika mendapati result yang tak sesuai. Karena dalam pemikiran saya yang sebenarnya masih lemah itu, terdapat harapan baru pada karya yang telah kita buat dan usaha yang kita lakukan. 
           Mungkin lebih tepatnya, ciptakan harapan baru lain sebelum kita menuai kegagalan yang pertama. Sehingga jika akhirnya kita gagal, masih ada harapan lain yang menantikan kesuksesannya.

Selamat berkarya ^_*

Mells.

Jumat, 13 Juli 2012

KELUARGAKU TAK SUKA MEMBACA

 CURCOL            

        Sebagai seorang penulis pemula yang baru saja masuk kancah kepenulisan, rasanya seneng... banget yaa bila tulisan kita dibaca banyak orang. Apalagi saat menghasilkan karya dan diterbitkan suatu media, ada kepuasan jiwa yang mencambuk semangat untuk menulis lebih tekun lagi. Namun lebih besar lagi keinginan saya agar karya saya juga dibaca oleh orang tua dan keluarga, tapi rasanya itu sulit. Ketika mengabarkan kepada mereka bahwa karya saya akhirnya berhasil menembus media, semangat saya berapi-api. Mereka pun mengucapkan hamdalah dan selamat kepada saya, namun hal itu berhenti sampai di situ saja. Padahal ingin sekali mereka lalu bersemangat untuk membaca karya saja. Meski hanya sebuah puisi atau cerita pendek saja.
       Aahh...reaksi mereka terkadang hanya membuat saya lalu menundukkan kepala, kecewa berat. Padahal  proses dalam membuat karya sederhana saya itu tetap sangat berat dan butuh waktu yang tidak pendek, secara saya masih penulis pemula banget. Apalagi untuk sebuah novel, saya butuh banyak belajar, membaca, mempelajari, mendiskusikan dengan orang lain bahkan survei setting jika memungkinkan. Hal itu merupakan perjuangan yang tidak mudah. butuh waktu 1 sampai 2 tahun untuk menulis sebuah novel saja. Belum lagi memperjuangkan pengiriman ke penerbit, masih butuh berbulan-bulan menunggu jawaban dan kepastian terbit. Namun, sepertinya keluarga masih tak begitu menghiraukan, seperti apa sih karya saya? Ngomongin apa sih saya sampai novel saya beratus-ratus halaman? 
   Nggak mikir. Mereka menurut saya nggak sampai terpikir bahwa saya melakukan ini dan memperjuangkan proses ini bukan untuk saya sendiri, tapi juga untuk mereka, seluruh keluarga. Bukan hanya soal materi, tapi saya juga mempersembahkan buah pena saya sebagai ucapan syukur dan terima kasih kepada seluruh keluarga atas segala kasih sayang yang telah mereka berikan, but it's not simple. Untuk membuka hasil karya saya mereka rasanya berat sekali. 
       Lalu sempat terpikir dalam benak saya, bagaimana orang lain akan berminat membaca karya-karya saya sedangkan keluarga saya sendiri tidak suka membacanya. Kenapa saya harus mengompori orang lain untuk membeli dan membaca novel saya sedangkan saya sama sekali tidak bisa mempengaruhi keluarga saya untuk mau membaca, tanpa membeli ????
Tapi untungnya pemikiran itu segera lenyap dari benak saya, saat kondisi yang sudah mulai kondusif mendukung saya. Ternyata novel perdana saya yang berjudul Xie Xie Ni De Ai tembus di pasaran hingga memasuki cetakan ke dua. Meski isinya masih sangat sederhana dan hanya mengelola pengalaman pribadi dan teman-teman, namun penerbit berhasil memasarkannya di deretan best seller setelah tiga bulan naik cetak yang pertama.
         Sangat bersyukur. Syukur yang tak terhingga, karena semua atas campur tangan Allah Subhanahu wata'ala yang artinya Dia memberikan jalan yang baik dan keluasan rizki pada saya di dunia kepenulisan yang baru saja saya mulai. Lalu saya membuka lagi novel saya itu, hehe... rasanya mau muntah juga membacanya ulang. Ternyata saya adalah penulis yang super lebai dan cerita saya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan penulis-penulis disekitar saya. Tapi ya biar saja, toh sudah laku di penerbit major dan dijual nasional *membela diri. 
          Dengan adanya cetak ulang itu, saya mengabarkan kembali kepada keluarga saya. Mereka dengan senyum sumringah mengucapkan selamat berkali-kali. Lalu saya sodorkan kembali novel saya dengan paksa, "Niih, apakah kalian semua tidak ingin membaca novel ini?" 
Lalu malah bapak yang kemudian minta diambilkan kaca mata. Deg Degan rasanya. Setelah membaca halaman awal ^halaman persembahan, tiba-tiba bapak mencopot kaca matanya. Saya hanya diam menunggu komentarnya. Ehh... malah mengusap-usap mata, aku mendekatinya dan bertanya, gimana kira-kira, tertarik nggak?
       Duuuh...berabe... bapak malah menangis dan nggak bisa menjawab apa-apa. Saya agak panik, tapi juga penasaran, apa yang membuat bapak mengusap mata. Apakah karena sakit dan gak kuat baca buku yang panjang dan tebal? Tapi kok malah semakin banyak air mata yang keluar. Lalu saya lari nyari ibu dan adik saya, ternyata... saya baru ngeh, kalau ternyata bapak terharu. Bapak bangga karena ternyata saya bisa mewujudkan hal yang menurut kami itu sulit untuk dijangkau. Bahwa saya bisa mempunyai buku sendiri, menulis secara utuh dan berproses dengan susah payah. Yah, walau sekali lagi dan berulang kali hasilnya masih jauh dibanding penulis-penulis yang sudah menjadi penyemangat saya. Yang terpenting saya sudah mencoba dan titik keberasilan mulai terlihat.
         Setelah kejadian itu, mereka baru paham, bahwa saya "serius" dalam mengasah bakat yang sebenarnya sangat tipis ini. Dan mereka mulai 'mau' menghargai karya saya.

Wah panjang juga yaa... baru belajar nge-blog dan belum jadi... berusaha terus yaa kawan-kawan...

semangat!!
Kartasura 13072012
Mells.

TERNYATA MENIKAH ITU BERKAH




Curcol ^_^ Karena Blog baru nii...

Ternyata sebuah pernikahan tidak hanya menyatukan dua hati yang saling mencinta. Menikah itu juga ibadah, banyak sekali ibadah-ibadah indah di dalam sebuah pernikahan. Awal dari pernikahanku... aku belajar bahwa :

> aku tak lagi hidup sendiri, mungkin dulu teman2 dekatku lebih paham bagaimana sifatku. keras kepala, grusa-grusu, emosional dan egois. Namun ketika berhadapan dengan suamiku, yang notabene sekarang adalah satu-satunya orang yang berhak terhadapku, mau tak mau aku harus merubah sikap dan memperbaiki sifat.
Ketika aku ingin melakukan sesuatu dan suami tak setuju, maka aku harus berhenti..
Ketika aku marah dan hampir meledak, aku harus tunduk di depan suamiku
ketika dulu aku sering bicara tak terkontrol, bahkan aku harus segera diam diambang kemarahanku terhadap sesuatu.
Ketika aku ingin bermalas-malasan, aku harus ingat bahwa suamiku telah bekerja keras untuk semua tanggung wajabnya...
Ketika ia meminta bantuan dikala aku kelelahan, aku harus bangkit dan mendekat padanya...

Maka, dari sekian waktu...pernikahan yang baru saja aku jalani, itulah kiranya  hal-hal yang harus kuperbaiki... dan aku berharap pernikahan ini membawa segala kebaikan untukku, keluargaku dan anak2 kami kelak, amin...


Bismillah.
MENAPAKI PERJALANAN PANJANG YANG TAK LAGI SENDIRI
25052012