Rabu, 16 Januari 2013

Debut novel ke empatku- Love's Direction - Grab it Now !!

Apa kau tahu, betapa cantiknya dirimu?
tak sadarkah bahwa dirimu sangat cantik di mataku?
Bukan karena wajahmu, bukan juga karena senyummu.
Tapi, karena engkau selalu ada pada saat yang tepat.
Dan, karena kau mampu menciptakan rindu yang tak hanya sesaat.

Kisah cinta dan persahabatan abadi personel One Direction, Zayn Malik, Niall Horan, Liam Payne, Harry Styles dan Louis Tomlinson, sungguh mengharu biru. Hadirnya Heidy Rafael, gadis tomboy keturunan Jepang-British yang jago karate, sebagai asisten manager mereka, mengawali kisah mereka. Seiring berjalannya waktu, Heidy merasakan jatuh cinta. Louis yang mempunyai sifat lebih dewasa dibanding keempat rekan lainnya, membuat Heidy merasakan suatu perasaan yang berbeda.

Di tengah perjalanan karir One Direction, Liam terancam akan dikeluarkan karena menderita penyakit gagal ginjal. Atas nama persahabatan dan agar One Direction tetap solid, Heidy mendonorkan salah satu ginjalnya untuk Liam. Namun….

Seperti apakah kelanjutan cinta Heidy terhadap Louis, berhasilkah operasi pencangkokkan ginjal Liam, dan apa yang terjadi dengan Heidy setelah ia mendonorkan salah satu ginjalnya? Temukan semua kisah haru birunya di novel ini!


Buruan, bisa dipesen sekarang lho via penulisnya, bagi kamu yang ngaku Directioners, pasti deh bakalan cepet2 baca novel ini...plus dapet hadiah poster nah loo... hub FB atau twitter penulisnya yaaa @mellshaliha atau di fb :http://www.facebook.com/LadyLawliet

Rabu, 09 Januari 2013

Sikap 'Tak Bersahabat' Yang Terbaca Olehku

         Kali ini mungkin bukan sekedar coretan, bisa jadi curhat, bisa juga sebuah pelarian dari rasa sakit. Atau mungkin pelampiasan dari diamnya aku selama ini. Pertama, aku tidak akan menyalahkan orang lain, tapi menyiasati dan mencoba mengerti atas perlakuan cuek- ogah- males dan ga nyaman yang aku rasakan ketika bertemu sahabatku.
         Mengeja arti sikap seseorang yang sudah dikenal dekat itu sangat mudah. Apabila dia marah, akan terlihat, apabila dia diam akan terasa, apabila dia tak nyaman pasti juga akan membuat kita merasa ada sesuatu yang salah atau sedang dipikirkannya. Itu wajar saja jika memang sudah jelas apa masalahnya dan apa alasan seseorang merubah sikapnya didepan kita. Tapi dari peristiwa yang terjadi padaku beberapa waktu lalu, semuanya terlihat aneh.
          Ceritanya entah berawal dari mana. Yang jelas aku mempunyai seorang sahabat baik sedari kecil. Aku tidak perlu sebutkan namanya. Selama kami bersahabat, kami saling tahu luar dalam. Apa yang ia lakukan aku tahu bahkan apa yg aku lakukan dia juga selalu kuberi tahu. Sejak pertemuan di lingkungan kerja, kami masih baik-baik saja, hingga terpaksa kami berpisah karena kebijakan management yang membuatnya harus meninggalkan pekerjaan lebih awal dariku.
            Aku merasa selama ini sangat menjaga perkataanku padanya dan selalu berusaha menghubunginya. Bahkan aku selalu memberitahukan padanya jika aku ganti nomor hand phone atau aku hubungi dia melalui fb, sekedar menanyakan kabarnya. Memang tidak ada feedback, tapi aku tidak menyerah. Hingga saat ia terkena musibah aku datang padanya. Tentu saja aku tidak tega melihatnya mengalami berbagai macam cobaan. Tapi waktu aku datang, ia hanya menyalamiku sekali. Tidak mengajakku ngobrol dan tidak menemuiku yang sedang bersama ibunya.
           Sebenarnya aku menunggunya menghampiriku di kamar ibunya, bukan di dapur atau di mana. Tapi sampai hampir setengah jam, ia tak kunjung datang/ Aku justru melihatnya sibuk dengan dirinya sendiri, ternyata ia menemui teman-temannya yang lain dan mengobrol dengan mereka. Saat aku keluar dari kamar dan melihatnya asyik dengan kawan-kawannya yang tidak kukenal. Rasanya kok kepingin meneteskan air mata saja. Ia mengasingkanku sedemikian rupa. Padahal seluruh keluarganya memandang tidak kenal terhadapku dan suamiku.
          Ya sudah, aku putuskan untuk keluar dan aku bersama suamiku duduk diteras. Aku bilang pada suamiku untuk pulang saja. Sepertinya kehadiran kami tidak diinginkan. Dan aku berkata dalam hati, jika sampai aku pamit ia tidak datang bersalaman denganku, maka hari itu adalah terakhir aku bertamu di rumahnya.
            Beruntung saat kami berpamitan dengan keluarganya yang lain dia berdiri. syukurlah masih ada basa-basi untuk menghiburku. Dan sepulang dari rumahnya aku dan suamiku berpendapat yang sama. saling bertanya, apa salahku? apa sih salah kita? trus kita mau gimana?
"Ya sudahlah, kita ikuti saja apa maunya."
Aku diam sepanjang perjalananku pulang. Menghela nafas panjang dan dalam. Mungkin ada saatnya aku tidak harus menjadi sahabat atau orang yang ia butuhkan. Mungkin juga karena ia lebih  nyaman dengan sahabat2 yang tidak mengenalnya begitu dekat. Atau entah, keputusan yang tidak begitu jelas menurutku.
           Dari situ aku berfikir, memang lebih baik tidak terlalu dekat dengan orang lain, sehingga apabila ia ingin menjaga jarak, tidak terlalu terasa sakit dan kehilangan. Sering, apa yang kita anggap baik belum tentu benar dan baik di mata orang lain. Sedekat apapun ia menjadi sahabat kita, kita tidak tahu apa yang ada di dalam hatinya. Apa sesungguhnya yang ia inginkan. Karena kejujuran itu juga menyakitkan, jika ia memang tidak ingin lagi bersahabat denganku tentunya ia tidak akan mengatakannya dengan jujur, melainkan melalui sikapnya.
Akhirnya, pandai-pandailah menjaga ucapan dan sikap dalam berhubungan dengan orang lain, jika tidak, maka kita tidak akan pernah bisa membaca dengan baik keinginan orang lain terhadap kita.

#Memory Desember 2012.


Sabtu, 05 Januari 2013

Cerpenku berhasil lolos Minggu Pagi, Koran Lokal Jogja


MBAH DAR
Oleh : Mell Shaliha

          Terik sudah sempurna menggosongkan semua bagian tubuhnya yang sudah ringkih. Kecuali bagian yang tertutup kemeja coklat kumal dan celana hitam yang sudah sobek di bagian pantatnya. Mbah Dar, begitu ia sering menyebut dirinya sendiri di hadapan orang yang kadang mau mendengarkan cerita pahitnya. Usianya sudah mencapai delapan puluh tujuh tahun, lebih lama dari umur kemerdekaan negara ini.
          Sudah beberapa tahun ia hidup di jalanan. Rumahnya yang pas di pinggir jalan digusur tanpa ampun dengan alasan pelebaran jalan tanpa imbalan sepeserpun. Mbah Dar adalah seorang mantan pejuang Veteran. Tapi ia tidak pernah mendapatkan kesejahteraan sedikitpun dari negara. Justru ketidakpedulian negara membuatnya nekat sampai menjadi seorang pengemis. Dulu sempat ia menjadi kuli pasar, sayang tubuh rentanya sudah tidak sanggup lagi untuk memikul beban goni bermuatan lebih dari lima belas kilo setiap hari.
          Istrinya pergi meninggalkannya karena ia tak mampu menjamin kebahagiaan secara materi. “Hidup itu butuh kesejahteraan, kalau hal itu tidak bisa kau penuhi lebih baik aku mencari suami yang bisa membahagiakanku.” Ucap istrinya lalu pergi menyeret anak laki-laki semata wayangnya yang telah menginjak usia delapan belas tahun.
          Mbah Dar tidak mungkin menghentikan bahkan mengejar mereka, karena ia tahu tidak ada lagi janji yang bisa ia tepati. Tidak pula ada harapan untuk hidup sejahtera di usianya yang sudah tidak muda lagi. Untuk dirinya sendiri saja kesulitan apalagi harus berjanji membahagiakan putra dan istrinya. Meski jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia tetap berharap sigaran nyawanya itu tidak meninggalkannya.
          Delapan tahun silam, putra yang meninggalkannya datang di gubuk reot pinggir pasar. Ia mencium tangannya takzim dan berpamitan. Anak itu sudah beranjak dewasa, mungkin orang tua barunya bisa menjadikannya seorang pemuda tampan yang berpendidikan. Tak seperti dirinya. Ia sangat bahagia, namun hal besar yang menjadikannya memendam amarah adalah ketika putranya itu meminta ijin.
          “Pak, saya akan melanjutkan sekolah saya di kota. Saya ingin menjadi tentara. Seperti bapak dulu.”
“Apa? Tidak! Tidak usah kau bersusah menjadi tentara, kau tidak akan pernah sejahtera. Apa kau mau ditinggalkan istrimu kelak?” Jawabnya tajam.
“Jadilah pejabat saja biar hidupmu sejahtera, di manapun kamu berada, kau tidak akan kekurangan uang jika kau menjadi pejabat negara.”
“Maaf Pak, tapi…”
“Tidak usah kau minta ijin padaku jika kau nekat ingin menjadi tentara. Anggap saja aku sudah mati. Aku akan menunggumu di sini dan melihatmu datang dengan mobil mewah dan jas berdasi merah.” Lalu  anak laki-lakinya pergi dengan mata berkaca. Melepas tangan legam bapaknya yang sepertinya tak rela ia tinggalkan.
***
          Mbah Dar berdiri di depan toko mainan sambil membuka kedua tangannya. Lambaian tangan dari penjaga toko pun segera membuatnya meneruskan perjalanan memutari pasar. Sesampai di depan kios tukang sol sepatu ia duduk di tangga pasar. Ia tampak kelelahan. Ia sama sekali tak menadahkan tangan, ada ketakutan kecil dari hatinya. Ketakutan akan lambaian dan usiran mereka.
          Seorang ibu paruh baya pemilik kios sol sepatu itu mendekatinya dan mengulurkan selembar uang dua ribu rupiah. Mbah Dar agak tercengang dengan perlakuan itu, tiba-tiba mendongak, tak langsung menerima uang itu.
“Mbah mau makan?” tawar ibu-ibu itu.
“Tidak, terima kasih, sudah makan tadi.”
“Minum ya Mbah?” tawarnya lagi. Lalu Mbah Dar mengangguk. Segelas teh panas menghangatkan perutnya. Ia berterima kasih berulang-ulang.
          “Mbah tinggal di mana?” tanya Ibu itu lagi. Dijawabnya dengan menunjukkan pojok pasar, bekas kios yang  ditutup dengan beberapa bambu dan  kardus bekas semen. Ibu itu mengangguk.
“Apa Mbah  ga punya keluarga?”
“Tidak. Dulu punya, tapi mereka sudah hidup bahagia dengan jalan mereka masing-masing.”
Ibu itu mengangguk lagi.
“Sekarang saya menunggu anak laki-laki saya datang dengan mobil mewah dan berjas serta berdasi merah. Apa kalian akan menganggapku gila?”
“Tidak Mbah. Semua orang berhak mempunyai keinginan.” Jawab salah satu pegawai di kios itu.
“Tidak semua. Tidak untuk seorang pejuang Veteran tua seperti saya.” Ibu dan pegawai itu melotot kaget. Akhirnya pecah juga cerita masa lalunya. Bahwa negara tak pernah peduli padanya, bahkan negara tidak tahu, presidennya tidak pernah mengerti arti dari perjuangan hidupnya sebagai seorang Veteran.
          “Maaf mas mau servis sepatu.” Kata seorang pelanggan memotong cerita Mbah Dar. Mbah Dar melihat laki-laki gagah yang berpakaian tentara itu dengan wajah yang menyiratkan kebencian, meski ia tidak jelas siapa orang yang ada di hadapannya itu.
“Baik, Pak, tapi mohon ditunggu sebentar ya, soalnya antri yang servis hari ini.” Kata pegawai kios.
“Iya tidak apa-apa.” Lalu laki-laki yang berseragam tentara itu duduk tanpa melihat ke arah Mbah Dar.
“Oh ya Mbah, ini saya beri kaos untuk ganti. Kebetulan suami saya punya banyak.” Ibu pemilik kios menyodorkan kaos putih berlengan biru gambar presiden. Dibukanya perlahan sambil mengucapkan terima kasih. Namun ia meminjam korek api pada karyawan dan membakar kaos itu di depan mereka.
          “Maaf Bu, saya tidak akan mengagungkan orang ini dengan memakai kaos bergambar dirinya. Bagi saya dia itu bukan siapa-siapa. Dan saya tidak butuh pakaian ini.” Mendengar jawaban itu si tentara menoleh. Ia memperhatikan wajah Mbah Dar dengan seksama.
“Bapak?” Panggil tentara muda itu keras-keras. Mbah Dar menoleh ke arahnya dan mengigit rahangnya kuat-kuat. Tentara itu meraih tangannya dan langsung dikibaskan.
“Bu terima kasih tehnya. Saya pamit.” Kata Mbah Dar dengan kaki pincang meninggalkan kios itu. Tentara yang ternyata putra Mbah Dar menunduk penuh penyesalan dan mengikutinya dari belakang.
          “Anakku sudah jadi pejabat negara dan aku bangga. Dia datang dengan mobil mewah, berjas dan berdasi merah. Anakku memang pintar, anakku memang hebat.” Gumamnya menyisir pinggiran pasar dengan susah payah.

***